Supaya sistem zonasi PPDB tak lagi karut-marut...
Konsep Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan mengacu jarak rumah ke sekolah atau yang disebut sistem PPDB zonasi perlu dievaluasi. Pasalnya, banyak siswa tidak tertampung oleh sekolah negeri karena perkara jarak rumah yang jauh dari sekolah atau ketiadaan sekolah negeri dekat rumah mereka.
Sistem PPDB zonasi yang semula memiliki semangat pemerataan mutu pendidikan justru menimbulkan masalah baru yang memperlihatkan ketimpangan sarana prasaran pendidikan. Pasalnya, tidak semua daerah memiliki satu sekolah negeri dalam satu kecamatan.
"Ada pula justru kecamatan yang memiliki lebih dari satu sekolah negeri untuk jenjang SMP atau SMA. Ini perlu dievaluasi," ujar Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dak Guru P2G, Satriawan Salim, kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (16/10).
Sistem zonasi diperkenalkan kepada masyarakat pertama kali pada 2016 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Muhadjir Effendi. Pada tahun 2017, sistem ini diterapkan dalam PPDB. Sistem zonasi dalam penerimaan murid baru dipertahankan oleh Mendikbud Nadiem Makarim.
Satriawan menilai sistem PPDB zonasi perlu dikaji ulang. Menurut dia, niat memeratakan akses dan kualitas pendidikan dalam sistem PPDB zonasi tak tercapai. Sistem tersebut malah membebani keuangan para orang tua dan mendorong praktik-praktik kecurangan.
"Kalau desa-desa di Jawa Tengah semisal Situbondo dan Gunung Kidul rata-rata sekolah negeri itu tidak merata juga sebarannya. Tapi, di Kabupaten Pasuruan, justru memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta dekat rumah atau pesantren dekat rumah karena untuk memasukan anak mereka ke sekolah negeri itu jauh dan susah," kata Satriawan.
Satriawan tidak mau gegabah menyimpulkan sistem PPDB zonasi harus dihapus. Namun, ia mengingatkan perlu ada mekanisme yang solid untuk memastikan pihak sekolah merekrut siswa dengan menggunakan cara-cara lancung, seperti dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Lebih jauh, ia berharap Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah membangun sekolah baru atau meredistribusi sekolah dengan berpijak pada karakter geografis dan demografis masing-masing daerah. Perkara geografis dan demografis yang menjadi salah satu faktor krusial yang menyebabkan siswa tidak bisa bersekolah di sekolah negeri.
"Pertama, membangun sekolah dengan menimbang kajian geografis. Seperti tadi, 'Kenapa tidak bisa menyekolahkan anaknya di sekolah negeri?' Karena jauh. Aksesnya susah, ongkosnya mahal. Jadi, tepaksa di sekolah swasta dekat rumah," kata Satriawan.
Aspek yang tidak kalah penting untuk dikaji adalah pelibatan sekolah swasta sebagai solusi menampung siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri. Sekolah swasta berkualitas perlu dipetakan dari sisi sarana, prasarana, dan kompetensi guru. Siswa yang bersekolah lantas diberi skema pembiayaan penuh oleh pemerintah daerah.
"Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus gencar membangun sekolah-sekolah negeri. Saya pikir ini menjadi pekerjaan rumah Presiden terpilih Prabowo dan Menteri Pendidikan yang baru karena kalau ujug-ujug dihapuskan akan terjadi chaos," kata Satriawan.
Senada, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, menilai sistem PPDB zonasi cenderung karut-marut. Ia mencontohkan kebijakan banyak sekolah untuk mempertimbangkan aspek nilai dan prestasi sebagai syarat rekrutmen siswa.
Walhasil, kuota zonasi terus menciut, dari 90% menjadi tinggal 50%. Jalur prestasi membesar, dari 5% kini mencapai hingga 50%.
"Prestasi jadi-jadian dan sertifikat abal-abal menjadi temuan kecurangan di banyak tempat. Sebenarnya kenaikan kuota jalur prestasi ini, secara tidak langsung, mengaburkan maksud dan tujuan penerapan sistem zonasi," kata Ubaid kepada Alinea.id.
Ubaid menduga PPDB akan kembali ke sistem lama menggunakan nilai evaluasi murni (NEM). Apalagi, Wakil Ketua Komisi X DPR (2019-2024), Dede Yusuf sempat melontarkan ide perubahan sistem PPDB saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan pejabat di Kemendikbudristek, Juni lalu.
"Sistem PPDB seleksi bertentangan dengan semangat pemenuhan hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan... Sejak kapan pemenuhan hak anak itu boleh diseleksi dan dibeda-bedakan?" kata Ubaid.
Menyoal daya tampung, Ubaid berpandangan pemerintah perlu fokus membangun lebih banyak sekolah sekolah di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Menurut dia, jumlah sekolah di kota-kota besar sudah cukup memadai.
"Tetapi, (jumlah sekolah) menjadi kurang karena PPDB hanya melibatkan sekolah negeri dan tidak melibatkan sekolah swasta," ucap Ubaid.
Ubaid sepakat sistem PPDB zonasi tidak perlu dihapus. Namun, ia menyarankan agar sistem itu dijalankan tanpa seleksi atau tanpa kompetensi rebutan kursi. Dengan begitu, praktik-praktik kecurangan oleh sekolah dan orang tua bisa dihindari.
"Ada dua alasan utama mengapa sistem zonasi tanpa rebutan kursi harus segera diterapkan. Pertama, penerapan zonasi dalam pemerataan akses akan berdampak pada percepatan penurunan angka anak tidak sekolah, yang kini jumlahnya masih jutaan. Kedua, pemerataan mutu," jelasnya.