Seberapa bahaya turbulensi saat penerbangan?
Satu orang tewas dan sebanyak puluhan orang lainnya harus dibawa ke rumah sakit, usai pesawat Singapore Airlines yang terbang dari London ke Singapura mengalami turbulensi hebat pada Selasa (21/5). Pesawat jenis Boeing 777-300 yang membawa 211 penumpang itu pun harus mendarat darurat di Bangkok, Thailand.
Turbulensi merupakan salah satu alasan mengapa orang takut naik pesawat. Kondisi saat terbang yang bergoncang-goncang, mirip tengah naik bus melewati jalanan berbatu, kerap membuat tak nyaman dan khawatir.
Padahal, turbulensi sangat umum terjadi saat kita melakukan penerbangan. Turbulensi adalah pergerakan udara yang disebabkan tekanan atmosfer atau arus udara di sekitar peguungan, cuaca dingin atau hangat, serta badai petis. Hal ini bisa saja tak terduga terjadi saat langit tampak cerah.
Turbulensi bisa dikategorikan ringan, sedang, berat, dan ekstrem. Turbulensi ekstrem, dapat menyebabkan pesawat terombang-ambing dengan keras, tak bisa dikendalikan, dan mengakibatkan kerusakan. Dalam kasus Singapore Airlines bisa kemungkinan dikategorikan turbulensi ekstrem.
Kematian akibat turbulensi sangat jarang terjadi. Federal Aviation Administration (FAA) menyebut, ada 163 penumpang dan awak penerbangan Amerika Serikat yang terluka parah akibat turbulensi antara tahun 2009 hingga 2022.
Kepada ABC News pensiunan pilot pesawat tempur Korps Marinir, Stephen Ganyard menduga, yang menimpa Singapore Airlines adalah turbulensi udara jernih. Menurutnya, dari London ke Singapura, pesawat melintasi Samudera Hindia, Laut Andaman, Myanmar, dan lembah Sungai Irrawaddy.
“Saat itu panas. Daerah tropis. Anda melewati sungai yang memberikan banyak kelembapan ke udara. Udara yang begitu panas, lembap, dan naik menyebabkan badai petir. Kami telah melihat gambar area tersebut, baik lewat radar maupun satelit yang berada di atas. Ada banyak badai petir besar di daerah tersebut,” kata Ganyard.
Ada dua jenis turbulensi, menurut Weather.gov, yakni turbulensi udara jernih dan turbulensi badai petir. Turbulensi udara jernih tak terkait dengan awan kumuliform—yang berbentuk gumpalan—termasuk badai petir. Ciri-ciri umumnya, areanya memanjang mengikuti angin, biasanya terjadi di atas ketinggian 15.000 kaki, dan paling sering terjadi pada musim dingin.
Turbulensi udara jernih, dikutip dari VOA News, paling sering terjadi di dekat sungai, dikenal sebagai “aliran jet”. Penyebabnya adalah pergeseran angin. Hal ini terjadi ketika dua massa udara besar yang berdekatan bergerak dengan kecepatan berbeda. Jika perbedaan kecepatannya cukup besar, maka akan terjadi gerakan memutar.
“Ketika terjadi pergeseran angin kencang di dekat aliran jet, hal itu dapat menyebabkan udara meluap. Dan dapat menciptakan gerakan kacau di udara,” ujar pakar ilmu penerbangan di Embry-Riddle Aeronautical University, Thomas Guinn kepada VOA News.
Pilot menggunakan beberapa metode demi menghindari turbulensi, termasuk memanfaatkan gambar radar cuaca. Tak jarang, mereka hanya bisa memantau dan terbang mengelilingi badai. Namun, turbulensi udara jernih bisa terjadi secara tak terduga.
Mantan pilot maskapai penerbangan dan pakar keselamatan, Doug Moss, dilansir dari VOA News mengatakan, pengendali lalu lintas udara akan memperingatkan pilot, bila ada pesawat lain yang mengalami turbulensi udara jernih. Banyak pilot juga melihat aliran jet di sepanjang jalur penerbangan mereka untuk mencari tanda-tanda pergeseran angin.
“Mereka dapat merencanakan untuk bergerak ke atas, ke bawah, atau di sekitar area tersebut,” kata Moss.
Di sisi lain, perubahan iklim—terutama emisi karbon dioksida—bisa memicu turbulensi udara jernih semakin meningkat tiga kali lipat pada akhir abad ini. Jenis turbulensi ini bakal terjadi di seluruh dunia pada semua ketinggian penerbangan.
Temuan itu berdasarkan riset profesor ilmu atmosfer di Reading University, Inggris, Paul D. Williams bersama koleganya, Mark C. Prosser, Graeme J. Marlton, dan R. Giles Harrison dalam Geophysical Research Letters (Juni, 2023).
Para peneliti menemukan, turbulensi parah telah meningkat sebesar 55% antara tahun 1979 dan 2020 d rute Atlantik Utara. Peningkatan turbulensi itu disebabkan perubahan kecepatan angin di dataran tinggi akibat pemanasan udara karean emisi karbon. Rute penerbangan di Amerika Serikat dan Atlantik Utara mengalami peningkatan turbulensi terbesar. Eropa, Timur Tengah, dan Atlantik Selatan juga mengalami peningkatan yang signifikan.
Williams mengatakan, peningkatan turbulensi disebakan pergeseran angin yang lebih besar—atau perbedaan kecepatan angin—dalam aliran jet, sistem angin kenang yang bertiup dari barat ke timur, sekitar lima hingga tujuh mil di atas permukaan bumi. Hal itu terjadi karena ada perbedaan suhu antara garis khatulistiwa dan kutub.
Sejak 1979, pergeseran angin dalam aliran jet telah meningkat sebesar 15%. Rute-rute penerbangan populer, seperti New York-London dan San Francisco-Tokyo bakal terdampak.
Meski begitu, sesungguhnya menghadapi turbulensi di udara terbilang aman. Pesawat dirancang untuk tahan terhadap kondisi kasar dan jarang sekali mengalami kerusakan struktural karena turbulensi. Akan tetapi, turbulensi dapat membuat penumpang dan awak pesawat terlempar, berpotensi menyebabkan cedera serius, seperti patah tulang dan pendarahan.
“Jika Anda tetap mengenakan sabuk pengaman, kecil kemungkinan Anda mengalami cedera,” kata Thomas Guinn, profesor ilmu penerbangan terapan di Embry-Riddle Aeronautical University, Thomas Guinn kepada The New York Times.