close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi peralatan spa./Foto Yamsri/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi peralatan spa./Foto Yamsri/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Wisata
Kamis, 25 Juli 2024 06:10

Prospek cerah wisata kesehatan

Indonesia memiliki potensi yang baik untuk mengembangkan pariwisata berbasis kesehatan.
swipe

Sejumlah negara sudah mengembangkan pariwisata berbasis kesehatan. Misalnya, Korea Selatan terkenal dengan tujuan operasi plastik atau Turki dengan transplantasi rambut. Di Indonesia, dikutip dari situs web Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), wisata kesehatan sudah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas strategis nasional.

Sejauh ini, sudah ada empat kawasan wisata kesehatan di Indonesia, yakni Medan yang dikelola Medan Medical Tourism Board (MMTB), Bali dengan Bali Medical Tourism Association (BMTA), Sulawesi Utara dengan North Sulawesi Health Tourism (NSHT), dan Malang dengan Malang Health Tourism (MHT).

Menurut Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari, wisata kesehatan merupakan model pariwisata “minat khusus” yang mendukung perkembangan keragaman paradigma pariwisata.

“Ini sangat berkembang untuk masa datang, yaitu pada customised paradigm (paradigma yang disesuaikan) setelah terjadi pergeseran paradigma pariwisata,” ucap Azril kepada Alinea.id, Selasa (23/7).

“(Tren pariwisata sebelumnya) mass tourism (sebelum tahun 1980), alternative tourism (1980-2000), quality tourism (2000-2020), dan customised tourism (tahun 2020 ke atas).”

Azril mengingatkan, wisata kesehatan tidak bertumpu pada kuantitas pengunjung. Akan tetapi para perilaku pengunjung yang memerlukan. Wisata kesehatan secara umum terdiri dari wisata medis, wisata rehabilitasi, wisata kebugaran, dan wisata lanjut usia atau gerontologi.

“Khusus untuk medical dan rehabilitation tourism, sangat memerlukan specialist dan sub-specialist, serta teknologi medis dan alat kesehatan yang cukup berkembang,” ujar Azril.

“Untuk ini, kita harus kerja keras untuk melengkapinya.”

Azril memandang, dalam tahap awal wisata kesehatan yang memungkinkan dikembangkan adalah wisata kebugaran. Sebab, banyak daerah di Indonesia memiliki rempah dan herbal yang sudah sangat lama dikembangkan.

“Kemudian, wisata lanjut usia (geroto tourism) karena kita sudah memiliki laut atau pantai dan bukit yang sangat indah dan memadai, serta industri atau ekonomi kreatif yang sangat membantu hobi para lansia,” tutur Azril.

Azril menjelaskan, wisata kesehatan memiliki dampak positif yang besar bagi masyarakat dan pelaku wisata. Misalnya, kearifan lokal bisa berkembang dan teknologi pengelolaan rempah di masyarakat bisa dimanfaatkan. Selain itu, pariwisata berbasis masyarakat yang berkembang, bisa membuat pendapatan masyarakat pun naik.

“Lalu bisa berdampak pada pengembangan healthy food, gastronomy diplomacy, pengembangan blue and green healing, serta pengembangan makanan sebagai obat,” kata Azril.

Lebih lanjut, Azril memandang, wisata kesehatan sebaiknya berbasis pada destinasi yang sudah siap dan mendukung, mencakup kebersihan, higienis, keselamatan, keamanan, dan lingkungan. Wujudnya, bisa tempat spa, jamu herbal, atau pengobatan tradisional.

“Khusus untuk wisata kebugaran (wellness tourism) sebaiknya sudah memiliki tanaman rempah dan herbal, serta budaya kearifan lokal yang mendukung dan alam lingkungan yang menunjang,” ujar Azril.

“Misalnya untuk spa dan jamu, sudah ada tanaman rempah, herbal, dan tanaman obat-obatan, sehingga dapat sebagai edukasi kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu.”

Terlepas dari itu, Azril mengatakan, pengembangan wisata kesehatan perlu pendekatan ilmiah untuk uji klinis terhadap tanaman obat-obatan dan produk kesehatan lainnya.

“Sehingga bisa mengembangkan suatu filosofi pariwisata makanan dan budaya sebagai obat dan kebugaran,” ujar dia.

Ilustrasi seseorang yoga./Foto leninscape/Pixabay.com

Merujuk data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2021, Indonesia menjadi kontributor terbesar daam kunjungan medis ke luar negeri, dengan total Rp161 triliun. Malaysia dan Singapura menjadi negara yang paling sering menjadi tujuan wisatawan asal Indonesia. Maka, demi menutup besarnya uang yang mengalir ke luar negeri itu, wisata kesehatan dapat menjadi solusi.

“Sayangnya, wisata medis dan kebugaran belum optimal dikembangkan pemerintah sebagai produk wisata di Indonesia,” ucap analis pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Chusmeru, Selasa (23/7).

“Pengembangan beberapa destinasi super prioritas di Tanah Air lebih fokus pada wisata alam.”

Padahal, kata Chusmeru, daerah-daerah di Sumatera Selatan, Jawa Barat, Yogyakarta, Solo, Bali, Lombok, Malang, dan Maluku bisa mengembangkan wisata kebugaran.

Saat ini, dijelaskan Chusmeru, tren wisata memang sudah menunjukkan ke arah pariwisata berbasis kesehatan. Karenanya, wisata medis dan kebugaran harus dikembangkan di Indonesia. Chusmeru menerangkan, wisata medis dan kebugaran merupakan produk wisata yang berorientasi pada pengobatan, pencegahan, dan perawatan kesehatan diri wisatawan.

“Wisata medis merupakan perjalanan wisatawan ke suatu negara atau daerah untuk kepentingan pengobatan atau terapi medis. Wisatawan dapat terdiri dari pasien maupun keluarga yang mengantar,” ucap Chusmeru.

Destinasi kebugaran yang potensial menjadi daya tarik dan menarik pendapatan ekonomi, dicontohkan Chusmeru, di antaranya air terjun, spa, dan sanggar meditasi.

Chusmeru menilai, Indonesia sudah memiliki banyak potensi wisata medis dan kebugaran, serta punya sumber daya manusia di bidang kesehatan maupun terapeutik. Selain itu, sumber daya alam dan budaya pun mendukung.

Ia menyoroti pemerintah yang sudah berhasil membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kesehatan di Sanur, Bali. Salah satu langkahnya adalah membangun rumah sakit internasional.

“Cerita sukses wisata medis juga datang dari Rumah Sakit Premier Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten. Rumah sakit ini memberikan layanan unggulan yang mampu menarik pasien dari dalam dan luar negeri,” ucap Chusmeru.

Berkaca dari contoh tadi, Chusmeru menyarankan rumah sakit menyusun strategi untuk mendatangkan turis berobat ke Indonesia. “Sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia untuk berobat di dalam negeri,” kata Chusmeru.

Di sisi lain, Chusmeru mengatakan, daerah yang terbilang sukses mengembangkan wisata kesehatan dengan pendekatan tradisional adalah Bali. Kearifan lokal Bali, menurutnya, cukup serius menjadi dasar pengembangan wisata kebugaran, seperti pewacakan—ramalan sifat bawaan menurut hari kelahiran—atau penerawangan batin.

“(Kemudian) minum loloh (jamu tradisional Bali), meditasi, dan yoga,” ucap Chusmeru.

Menurut dia, perkembangan wisata kebugaran di Bali secara ekonomis sangat baik. Sebab, sangat diminati wisatawan, mulai dari pejabat hingga selebritas.

“Spa yang banyak dikelola di dalam hotel, sudah menjadi produk penting dalam melayani wisatawan,” kata dia.

Chusmeru menyebut, tercatat hingga September 2023 di Kabupaten Badung, Bali terdapat 376 spa di hotel berbintang. “Sungguh potensi yang luar biasa dari wisata medis untuk mendulang turis,” ucap Chusmeru.

Ia menyimpulkan, wisata medis dan kebugaran memiliki potensi sangat cerah. Potensi ekonominya pun sangat dirasakan masyarakat.

“Karena sebagian besar produk wisata medis berasal dari sumber daya alam dan sumber daya manusia lokal yang ada di daerah,” ujar dia.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan