Pemicu kecelakaan yang tinggi di Bali
Kecelakaan lalu lintas di Bali pada 2023 mengalami peningkatan signifikan hingga dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data Polda Bali, yang dinukil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, tahun 2022 terjadi 3.620 kecelakaan yang menyebabkan 502 orang meninggal dunia, 59 luka berat, dan 5.083 luka ringan. Sedangkan pada 2023, jumlah kecelakaan naik menjadi 7.467, dengan korban meninggal dunia 274 orang, luka berat 62 orang, dan luka ringan 5.901 orang.
Sementara menurut Direktorat Lalu Lintas Polda Bali, seperti dilansir dari Antara, sepanjang 2023 terjadi 7.466 kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 655 orang meninggal dunia.
Wakil Kepala Polda (Wakapolda) Bali I Gusti Kade Budhi Harryarsana saat apel kesiapan Operasi Patuh Agung 2024 di halaman Mapolda Bali, Denpasar, Senin (15/7) mengatakan, selain warga lokal Operasi Patuh Agung pun menyasar warga negara asing (WNA) yang tengah berwisata di Bali. Sebab, belakangan ini WNA menjadi sorotan karena kerap kali terlibat persoalan di Bali, terutama pelanggaran lalu lintas.
Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana (Unud) I Putu Anom menilai, tingginya kecelakaan di Bali terjadi karena intensitas lalu lintas yang padat. Kondisi ini diperburuk dengan perilaku pengendara yang sangat emosional, sehingga tidak mampu mengontrol diri saat mengemudi.
“Pada malam hari sampai subuh, banyak pengemudi sepeda motor dan mobil yang mabuk, sehingga tidak terkontrol berkendara, yang sering menimbulkan kecelakaan tragis,” kata Anom kepada Alinea.id, Rabu (17/7).
“Wisatawan, terutama wisatawan asing, banyak yang melanggar (aturan) lalu lintas, tidak sabar, tidak sopan, sering mabuk, sehingga rentan menimbulkan kecelakaan.”
Selain itu, kata dia, banyak pengendara sepeda motor di Bali yang melakukan perjalanan jarak jauh, yang sebenarnya bisa berbahaya.
“Terutama jalur Denpasar-Gilimanuk sering terjadi kecelakaan karena masih banyak jalan yang berliku, kesabaran pengemudi motor atau mobil berkurang, sehingga melaju relatif cepat, rentan menimbulkan kecelakaan,” ucap Anom.
Sementara itu, pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Chusmeru menilai, kecelakaan lalu lintas yang tinggi di Bali berakar dari masalah tata kelola pariwisata yang amburadul.
Menurutnya, sebelum membludak dengan wisatawan, persisnya awal 1990, para ahli sudah memprediksi Bali akan berhadapan dengan banyak masalah di kemudian hari, seperti kepadatan penduduk, kemacetan, dan kecelakaan lalu lintas. Namun, hal itu tidak direspons dengan membangun infrastruktur transportasi publik yang baik.
“Jumlah kendaraan per satuan ruang tidak layak untuk beberapa jalan menuju objek wisata favorit, seperti Badung, Denpasar, Gianyar, Tabanan, dan Bedugul,” ujar Chusmeru, Rabu (17/7).
“Bahkan Nusa Penida yang dulu masih lengang, kini terjadi kemacetan dan tidak ada rute alternatif. Kondisi seperti ini tidak secara cepat diambil kebijakan tata kelola yang solutif, menunda-nunda hingga kondisinya kini semakin amburadul.”
Chusmeru melihat, kecelakaan lalu lintas banyak terjadi di rute destinasi wisata, seperti jalur Gilimanuk-Denpasar, Denpasar-Singaraja, maupun jalan bypass Ngurah Rai. Rute jalan tersebut, sangat berliku dan banyak tanjakan, sehingga faktor lingkungan dan kendaraan menjadi penyebab kecelakaan. Kecelakaan pun dapat terjadi karena perilaku pengendara dan pelanggaran lalu lintas.
“Banyak wisatawan yang ugal-ugalan dalam berkendara di Bali, mulai dari tidak menggunakan helm maupun sabuk pengaman, berboncengan melebihi kapasitas, melanggar traffic light, rambu lalu lintas, melawan arah, serta mengemudi dengan kecepatan tinggi,” ujar Chusmeru.
Jumlah wisatawan yang terus meningkat, kata Chusmeru, tidak didukung dengan transportasi publik yang baik. Hal ini membuat wisatawan banyak yang menggunakan kendaraan bermotor sewaan untuk keliling tempat wisata di Bali.
“Ini membuat wisatawan menganggap bahwa Bali merupakan destinasi yang bebas melakukan apa saja, termasuk berkendara secara bebas, melanggar aturan,” ujar Chusmeru.
“(Perlu menambah) frekuensi operasi lalu lintas atau tilang dengan upaya penindakan sebagai efek jera bagi wisatawan.”
Chusmeru melanjutkan, selain menertibkan perilaku berlalu lintas dan berkendara, Pemprov Bali perlu pula membangun transportasi pubik untuk menopang pariwisata. Tujuannya, mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum.
“(Misalnya) proyek Bali Urban Rail yang mencakup pembangunan MRT (mass rapid transit) yang akan dimulai ground breaking pada September 2024,” ucap dia.
“MRT di Bali akan dibangun dengan konsep subway, sehingga tidak mengganggu keindahan alam.”
Terpisah, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menilai, Bali adalah contoh buruk destinasi wisata yang mengabaikan transportasi publik. Buntutnya, wisatawan asing yang tidak piawai mengendarai sepeda motor di negara asalnya, ketika di Bali menjadi ugal-ugalan.
“Bule-bule yang datang ke Bali itu di negaranya dia tidak naik motor. Tapi menggunakan kendaraan umum. Begitu di Bali, dia naik motor sebebas-bebasnya,” ucap Djoko, Rabu (17/7).
Menurut Djoko, kecelakaan lalu lintas yang tinggi di Bali harus menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam mengembangkan pariwisata prioritas lainnya. “Bali itu contoh buruk, jangan ditiru untuk daerah lainnya,” kata dia.
Syaratnya, kata Djoko, daerah prioritas wisata harus ditopang dengan transportasi publik yang baik. Paling tidak bisa mencontoh Eropa atau Jepang yang menggunakan angkutan umum berupa bus atau lainnya.
“Sebenarnya, Bali itu mampu melakukannya (membangun transportasi publik). Hanya saja, Pemda Bali tidak serius,” ucap Djoko.
“Angkutan umum tidak dibuat bagus, akhirnya membuat bule-bule ini serampangan.”