Dua pasang capres-cawapres usung Badan Penerimaan Negara, seberapa perlukah?
Kontestasi politik 2024 tinggal menghitung bulan. Tiga pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) pun semakin keras mengumbar visi, misi dan janji-janji politik mereka.
Dari sisi ekonomi, ketiga pasang Capres-Cawapres kompak berjanji untuk meningkatkan perekonomian Indonesia dan mengangkat kesejahteraan rakyat. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar misalnya, dengan mengusung visi ‘Indonesia Adil Makmur untuk Semua’ menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,5 sampai 6,5% dalam periode 2024 – 2029.
Kemudian, pasangan yang pertama mendaftarkan diri ke KPU (Komisi Pemilihan Umum) ini pun berjanji menurunkan tingkat ketimpangan pengeluaran (indeks Gini) dari 0,388 di 2023 menjadi 0,36-0,37 di 2029; hingga menciptakan 15 juta lapangan kerja baru, termasuk lapangan kerja di sektor hijau.
Selain itu, pasangan Anies dan Cak Imin juga ingin membentuk Badan Penerimaan Negara yang berada langsung di bawah presiden dan bertanggungjawab kepada presiden. “Kami melihat perlu ada realisasi badan penerimaan negara menjadi satu sendiri. Nantinya, melakukan integrasi koordinasi dalam semua terkait revenue negara," kata Anies, dalam Sarasehan 100 Ekonom yang dihelat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rabu (8/11).
Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan visi ‘Menuju Indonesia Unggul: Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari’ menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% pada periode 2024-2029. Pasangan ini juga bertekad mengurangi kemiskinan ekstrem hingga 0% dan secara bertahap mengurangi kemiskinan hingga 2,5% pada 2029. Untuk mencapai target ini, Ganjar dan Mahfud pun menargetkan pembukaan lapangan kerja untuk 17 ribu tenaga kerja dari berbagai sektor.
Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di sisi lain, membidik pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-7% untuk mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045. Selain itu, pasangan ini bakal mengupayakan pemberantasan kemiskinan ekstrim menuju 0% dalam 2 tahun pertama pemerintahan dan menargetkan kemiskinan relatif di bawah 6% di akhir 2029.
Sama halnya dengan pasangan Anies-Cak Imin, Prabowo dan Gibran juga berjanji untuk mendirikan Badan Penerimaan Negara jika terpilih dalam Pemilu 2024 nanti. “Negara membutuhkan terobosan konkret dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari dalam negeri. Pendirian Badan Penerimaan Negara ditargetkan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 23%,” tulis dokumen visi dan misi Prabowo – Gibran, dikutip Jumat (10/11).
Rasio pajak rendah
Terlepas dari janji-janji manis para bakal presiden dan wakil presiden itu, Ekonom Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai, Badan Penerimaan Negara memang layak dipertimbangkan. Apalagi, baik Anies-Cak Imin maupun dan Prabowo-Gibran mengaitkan pentingnya Badan ini dengan tingkat rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang rendah, tidak sebanding dengan produk domestik bruto (PDB) nasional yang pertumbuhannya bisa dibilang cukup memuaskan.
“Mereka juga menyadari bahwa dibutuhkan kelembagaan yang kredibel dan berintegritas untuk menangani penerimaan negara ke depan. Karena ternyata DJP (Direktorat Jenderal Pajak) selama ini, selain banyak terkena kasus, juga masih belum mampu mengangkat raihan tax ratio kita di sisi lain,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (10/11).
Sekarang ini DJP memang sedang menggarap sistem pajak baru, yang dikenal dengan core tax system atau sistem administrasi pajak yang terintegrasi dan berbasis teknologi informasi. Namun, menurutnya secara teknis tak akan ada masalah dengan pendirian badan baru tersebut. Hanya saja, harus ada political will untuk membentuknya.
Di negara-negara lain pun sebenarnya ada lembaga atau otoritas tersendiri yang khusus mengurusi pajak. Misal, di Amerika Serikat dengan Internal Revenue Service (IRS). “Kemudian Singapura memiliki Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), Malaysia memiliki Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN), serta Australia memiliki Australian Tax Office (ATO),” imbuhnya.
Wakil Direktur INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Eko Listiyanto pun memiliki pandangan serupa. Menurut dia, dengan adanya Badan Penerimaan Negara, eksekutor untuk mengumpulkan pendapatan negara pun dapat melakukan tugasnya lebih fokus.
Selain itu, posisi yang langsung di bawah presiden dan bertanggungjawab kepada presiden juga bakal membuat lembaga itu berjalan lebih transparan dan memiliki tanggung jawab lebih untuk mencapai apa yang telah ditargetkan. Dalam hal ini berapa pendapatan negara yang harus mereka kumpulkan, bisa melalui pajak maupun bea dan cukai.
“Sedangkan Kemenkeu (Kementerian Keuangan) mereka nantinya hanya akan membuat regulasi. Jadi aturan segala macamnya itu dari Kemenkeu dan yang bertugas mengumpulkan pendapatan negara BPN itu,” jelas Eko.
Karena berada di bawah presiden dan bertanggungjawab kepada presiden, jika lembaga ini tidak dapat mencapai targetnya, presiden lah yang mendapat penilaian buruk. Sebab, tanggung jawab lembaga tersebut ada di tangan presiden, pun dengan instruksi yang langsung diberikan oleh presiden.
“Ini kekurangannya. Kalau enggak capai target, presidennya bisa dikatakan gagal. Kalo berhasil capai target atau bahkan melebihi target, lembaganya berhasil, presidennya berhasil. Kalau sekarang kan ada di bawah Kemenkeu. Jadi kalau gagal ya yang jelek Kemenkeu,” katanya.