close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pegi Setiawan (kanan, berkaus biru) dihadirkan dalam kasus pembunuhan Vina dan Rizky di Cirebon tahun 2016 lalu pada konferensi pers di Mapolda Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Minggu (26/5/2024)./Foto tribratanews.jabar.polri.go.id
icon caption
Pegi Setiawan (kanan, berkaus biru) dihadirkan dalam kasus pembunuhan Vina dan Rizky di Cirebon tahun 2016 lalu pada konferensi pers di Mapolda Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Minggu (26/5/2024)./Foto tribratanews.jabar.polri.go.id
Peristiwa - Hukum
Jumat, 12 Juli 2024 14:05

Peluang ganti rugi bagi Pegi akibat salah tangkap

Selain Pegi, ada beberapa kasus salah tangkap yang berakhir dengan ganti rugi.
swipe

Setelah hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Bandung Eman Sulaeman mengabulkan gugatan praperadilan Pegi Setiawan—yang disangkakan sebagai pembunuh Vina dan Rizky di Cirebon pada 2016—beberapa waktu lalu, ada peluang menuntut ganti rugi kepada Polda Jawa Barat. Salah seorang kuasa hukum Pegi, Toni RM, mengatakan pihaknya bakal menuntut ganti rugi sebesar Rp175 juta.

“Dari dua sepeda motor yang ditahan Polda Jabar dengan ditambah penghasilan setiap bulan Rp5 juta sebagai kuli bangunan yang terhenti selama tiga bulan,” kata Toni di Bandung, seperti dikutip dari Antara, Senin (8/7).

Toni mengatakan, selama ditahan, Pegi kehilangan penghasilan dan pekerjaan yang menjadi tumpuan hidup keluarganya. Selain itu, ia menyebut, keluarga Pegi merasa malu dengan penetapan tersangka.

Ada beberapa dasar hukum ganti rugi bagi korban atas kesalahan penyidik alias salah tangkap. Pertama, Pasal 1 ayat (23) KUHAP soal ganti rugi yang merupakan hak seseorang mendapat pemenuhan atas tuntutan, berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang.

Lalu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan KUHAP. Di dalam pasal 9 aturan itu disebutkan, besaran ganti rugi korban salah tangkap atau peradilan sesat paling sedikit Rp500.000 dan paling banyak Rp1.000.000.

Kemudian besaran ganti rugi korban salah tangkap atau peradilan sesat yang mengakibatkan luka berat atau cacat paling sedikit Rp25 juta dan paling banyak Rp300 juta. Terakhir, besaran ganti rugi korban salah tangkap atau peradilan sesat yang mengakibatkan kematian paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Tuntutan ganti rugi atas kesalahan penegak hukum pernah diajukan pula oleh Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto pada 2016. Andro dan Nurdin menuntut ganti rugi karena salah tangkap dan mengadili mereka pada 2013. Hakim mengabulkan permohonan ganti rugi mereka sebesar Rp72 juta. Sebelumnya, mereka mengajukan ganti rugi sebesar Rp1 miliar.

Kasus bermula pada 30 Juni 2013, ketika seorang pengamen bernama Dicky Maulana ditemukan tewas di Jembatan Cipulir, Jakarta Selatan. Enam orang teman Dicky yang melaporkan kejadian itu, termasuk Andro dan Nurdin, malah ditangkap dan dipaksa mengaku dengan cara disiksa. Setelah polisi mendapat pengakuan, mereka disidangkan dan dijatuhkan vonis tujuh tahun penjara.

Pada Maret 2014 mereka bebas karena menang banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan mereka tak terbukti melakukan pembunuhan. Sebab, pembunuh sebenarnya sudah diketahui dan mengaku.

Nasib berbeda dialami empat pengamen lainnya yang merupakan teman Andro dan Nurdin, yakni Fikri Pribadi, Fatahillah, Arga Samosir, dan Muhammad Bagus Firdaus. Mereka juga menuntut ganti rugi Rp185 juta hingga Rp194 juta per orang pada 2019.

Nahasnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak seluruh gugatan ganti rugi empat pengamen atas kasus salah tangkap itu. Alasannya, materi permohonan pemohon telah kedaluwarsa.

Contoh lainnya, tuntutan ganti rugi terhadap Polres Lampung Utara dan Kejari Lampung Utara karena salah tangkap dan mengadili Oman Abdurohman pada 2019. Kasus bermula saat Oman yang merupakan seorang pengurus masjid ditangkap karean diduga terlibat perampokan di Abung Timur, Lampung Utara pada 2017 lalu. Penangkapan itu mengakibatkan luka tembak di bagian kakinya dan terpaksa mendekam di penjara selama 10 bulan, sebelum akhirnya dinyatakan bebas dan tak bersalah.

Sementara itu, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menerangkan, dalam kasus Pegi Setiawan, tidak serta merta dia mendapatkan ganti rugi atas kesalahan penegak hukum. Pembayaran ganti rugi, kata dia, harus diperjuangkan dengan mengajukan gugatan perdata.

“Setelah ada putusan pengadilan, baru bisa direalisasikan dengan eksekusi putusan,” kata Abdul kepada Alinea.id, Kamis (11/7).

Lebih lanjut, dia mengungkapkan, pengajuan nilai ganti rugi sebesar Rp175 juta dari tim pengacara Pegi, tetap harus dibuktikan dasar ajuan gugatannya dengan nominal tersebut. Ia menyebut, pengajuan gugatan tidak ada masa kedaluwarsa. Sementara, bila pihak tergugat ogah membayar sesuai putusan, maka tindakan eksekusi paksa harus dilakukan.

Di sisi lain, menurut dia, jika kepolisian menemukan bukti baru untuk menjerat Pegi kembali sebagai tersangka, maka nantinya bisa saja ganti rugi dikembalikan. Pengembaliannya pun dilakukan lewat jalur perdata.

Kendati demikian, saat ini polisi tidak dapat menjegal Pegi untuk mendapatkan ganti rugi yang menjadi haknya. “Karena kesalahan sudah terjadi yang merugikan Pegi,” ucap Abdul.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan