close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi landak./Foto analogicus/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi landak./Foto analogicus/Pixabay.com
Peristiwa - Hukum
Jumat, 13 September 2024 16:04

Kontroversi pidana memelihara satwa dilindungi

Kasus Sukena dan Piyono menarik perhatian publik setelah mereka dihukum karena memelihara satwa yang dilindungi, meski tidak mengetahui status hukum hewan tersebut.
swipe

Video I Nyoman Sukena, 38 tahun, yang meronta-ronta dan menangis setelah sidang pemeriksaan atas kasus pemeliharaan empat ekor landak jawa atau Hysterix javanica di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Kamis (5/9) viral di media sosial. Sukena terancam dipenjara lima tahun karena didakwa melanggar Pasar 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Awalnya, warga Kabupaten Badung, Bali itu didatangi polisi pada 4 Maret 2024. Mulanya, petugas hanya menanyakan legalitas izin pemeliharaan burung jalak bali dan jalak putih di rumahnya. Namun, ketika itu petugas juga menemukan empat ekor landak jawa di dalam kandang.

Petugas lantas membawa landak itu hingga tak lama terbit surat pemanggilan dari Polda Bali. Di persidangan, Sukena mengaku dirinya mendapat landak jawa itu dari mertuanya, yang didapat di kebun. Dia mengatakan, kondisi geogradis di Desa Bongkasa Pertiwi, tempatnya tinggal, memang menjadi sarang berkembangbiaknya landak itu. Merasa kasihan dengan landak itu, Sukena akhirnya memeliharanya. Dia mengaku tak tahu hewan itu merupakan satwa kategori dilindungi.

Dukungan mengalir kepada Sukena sejak videonya viral. Pada Kamis (12/9), PN Denpasar mengabulkan permohonan penangguhan penahanannya. Dia menjadi tahanan rumah, setelah beberapa hari mendekam di Lapas Kelas IIA Kerobokan.

Nasib serupa menimpa Piyono, 61 tahun. Warga Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur itu divonis lima bulan penjara karena memelihara ikan aligator gar atau Atractosteus spatula. Ironisnya, ikan asal Amerika Utara itu masih dijual bebas di Pasar Burung Splendid, Kota Malang. Dia tak tahu ikan jenis itu tak boleh dipelihara.

Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Agus Surono, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024, memang memelihara satwa dilindungi, seperti landak jawa dan aligator gar melanggar pasal 21 ayat (2) huruf a dan sanksinya ada di pasal 40A ayat (1) huruf d.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.20/MENLJK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, yang memuat hampir 800 jenis satwa, landak jawa termasuk satwa yang dilindungi. Namun, tak ada ikan aligator gar.

Dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 disebutkan, setiap orang dilarang memburu, menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan/atau memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

Sedangkan pasal 40A ayat (1) huruf d di beleid itu berbunyi, orang perseorangan yang melakukan kegiatan memburu, menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan/atau memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VII.

“Bila yang bersangkutan tidak mengetahui hal-hal seperti ini, bisa diberikan keringanan hukuman,” kata Agus kepada Alinea.id, Kamis (12/9).

“Sebab, tidak ada niat dalam melakukan kejahatan tersebut.”

Namun, menurut Agus, keringanan bukan berarti penghapusan pidana atau membenarkan tindakannya. Apalagi, tidak ada aturan yang membahas terkait hal itu.

Terlepas kasus yang membelit Sukena dan Piyono, profesor riset pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ibnu Maryanto menjelaskan, ikan aligator gar bisa mengganggu ekosistem, jika dilepas begitu saja karena bakal mengurangi populasi ikan. Maka, bila ikan itu ditempatkan di dalam kolam pemancingan, seharusnya tidak ada masalah.

“Justru yang menjadi masalah ketika ikan ini dilepas ke alam,” ujar Ibnu, Rabu (11/9).

Lalu, bagi Ibnu, negara pun “diuntungkan” ketika landak jawa dipelihara. Apalagi, landak jawa mudah untuk dikembangbiakan. Langkah ini justru membantu pemerintah untuk memperbanyak populasi landak jawa.

Dia menegaskan, inti dari perlindungan satwa sendiri adalah pelarangan berburu hewan langka. Karenanya, kata dia, jika dipelihara dan berkembang biak, seharusnya sudah tidak dilindungi lagi.

“(Satwa itu) menjadi banyak dan tidak langka lagi,” tutur Ibnu.

Oleh karena itu, Ibnu menilai, penindakan hukum soal kasus Sukena dan Piyono malah menunjukkan arogansi dari pejabat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

“Yang harus dihukum pejabat BKSDA-nya, ya. Karena asumsi sepihak bahwa ada landak dilindungi,” ucap Ibnu.

“Karena kalau menernakan (memelihara) harusnya dapat keuntungan, tapi sistem pengambilannya perlu diusut, ada izin atau tidak. Kalau seperti ini (kasus Sukena dan Piyono) kasih izin saja, bukan terus ditangkap, dimasukkan ke penjara.”

Menurut Ibnu, intinya mereka tidak berburu di alam liar. Ibnu juga mengatakan, dahulu di kantornya sewaktu masih berada dalam naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), juga mengembangbiakan landak jawa.

“Proses administrasi, kami mengizinkan. Kami izin, nanti anaknya diambil dan dilepas ke alam,” tutur Ibnu.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan