close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Vietnam News
icon caption
Foto: Vietnam News
Peristiwa
Rabu, 18 September 2024 09:44

Jumlah korban tewas akibat Topan Yagi melampaui 500 jiwa

Pemerintah militer juga mengumumkan bahwa hampir 240.000 orang telah mengungsi.
swipe

Jumlah korban tewas dampak dari topan Yagi di Asia Tenggara telah meningkat lebih dari 500 orang. Myanmar mengalami dampak yang paling parah. Banjir dan tanah longsor yang disebabkan oleh topan minggu lalu serta hujan monsun musiman telah mengakibatkan setidaknya 226 orang tewas, sementara 77 lainnya dilaporkan hilang.

Alinn, media pemerintah Myanmar melaporkan pada Selasa (17/9), hujan deras mengguyur wilayah tengah Mandalay, Magway, Bago, dan Delta Ayeyarwaddy; juga negara bagian Shan, Kayah, Kayin, dan Mon di timur, serta ibu kota Naypyitaw. Meskipun beberapa daerah yang terkena banjir mulai mengalami penurunan ketinggian air, wilayah di Shan dan Kayah masih berada dalam situasi kritis.

Jalur kehancuran Topan Yagi dimulai setelah melintasi perbatasan Vietnam minggu lalu. Dengan kecepatan angin mencapai 92 mil per jam, Yagi menjadi topan terkuat yang menghantam Vietnam dalam beberapa dekade. Sebelum menghantam Vietnam, topan ini menyebabkan korban jiwa di Filipina dan lebih banyak lagi di Tiongkok selatan, di mana kerusakan mencapai US$102 juta, menghancurkan rumah-rumah dan merusak jaringan listrik di provinsi Hainan.

Meskipun badai tersebut telah melemah menjadi depresi tropis, hujan deras yang terus berlangsung menyebabkan banjir dan tanah longsor, menewaskan ratusan orang dan membuat puluhan lainnya hilang. Vietnam melaporkan hampir 300 korban jiwa, sementara 42 orang meninggal di Thailand utara dan 4 orang di Laos. 

Di Filipina, 21 orang dilaporkan tewas, dan 26 orang masih dinyatakan hilang menurut laporan dari Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan. Di Myanmar sendiri, menurut Myanma Alinn, banjir menghancurkan lebih dari 160.000 rumah, 117 kantor pemerintahan, 1.040 sekolah, 386 bangunan keagamaan, serta berbagai infrastruktur seperti jalan, jembatan, menara listrik, dan menara telekomunikasi di 56 kota.

Pemerintah militer juga mengumumkan bahwa hampir 240.000 orang telah mengungsi. Untuk merespons bencana ini, 438 kamp bantuan sementara telah didirikan untuk lebih dari 160.000 korban banjir, menurut laporan Myanma Alinn. 

Myanmar, yang tengah dilanda perang saudara, menghadapi kesulitan tambahan dalam menilai dampak penuh dari bencana ini. Sejak militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintah terpilih pada 2021, konflik yang berlangsung telah menghambat penghitungan korban. Analis independen yang dikutip oleh Associated Press menunjukkan bahwa militer saat ini hanya menguasai kurang dari separuh wilayah negara tersebut.

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) memperingatkan bahwa sekitar 631.000 orang di Myanmar terkena dampak banjir yang meluas, dengan ketinggian air di beberapa daerah masih dalam kondisi kritis.

 Myanmar, yang sudah menghadapi krisis pengungsi dengan lebih dari 3,4 juta orang yang terusir dari rumah mereka karena konflik bersenjata, kini menghadapi situasi kemanusiaan yang semakin parah, menurut OCHA. Banjir juga menghancurkan lebih dari 259.000 hektar lahan pertanian, menambah kekhawatiran terkait ketahanan pangan.

PBB menyatakan bahwa kebutuhan mendesak saat ini termasuk makanan, air bersih, obat-obatan, pakaian, perlengkapan kebersihan, dan tempat tinggal. Namun, upaya bantuan terhambat oleh jalan yang rusak, jembatan yang hancur, serta bentrokan bersenjata. Pemerintah militer Myanmar yang dipimpin oleh Wakil Jenderal Senior Soe Win mengumumkan bahwa bantuan internasional mulai tiba dari berbagai negara, dan bantuan kemanusiaan dari Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara juga segera datang. Myanmar sebelumnya juga pernah mengalami bencana serupa, dengan Siklon Nargis pada tahun 2008 yang merenggut lebih dari 138.000 nyawa.

Para ahli memperingatkan bahwa badai seperti Yagi mungkin akan semakin sering terjadi dan semakin parah akibat perubahan iklim. 

"Lautan yang lebih hangat menyediakan energi tambahan untuk memperkuat badai, meningkatkan kecepatan angin dan curah hujan," ujar Benjamin Horton, direktur Earth Observatory of Singapore, kepada Associated Press minggu lalu.(miamiherald)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan