close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aris Syuhada
icon caption
Aris Syuhada
Kolom
Kamis, 03 Desember 2020 10:34

Pilkada dan reinventing government

Makna sesungguhnya dari reformasi birokrasi adalah sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia.
swipe

Penghapusan sistem kekuasan yang sentralistik adalah salah satu tuntutan gerakan reformasi. Tuntutan ini disuarakan oleh gerakan mahasiswa, menjelang runtuhnya orde baru pada 21 Mei 1998. Oleh karena itu, lantaran sekarang masih berada dalam orde reformasi, maka kewajiban belaka bagi pemerintahan siapa pun dalam orde ini, untuk merealisasikan agenda Reformasi itu. Intinya mengubah pemerintahan yang otoriter (sentralistik) dengan demokrasi, melalui pelaksanaan desentralisasi, yang diterjemahkan ke dalam sistem otonomi daerah (otda).

Lantaran tuntutan tersebut menguat, maka lahirlah dua peraturan: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22  Tahun 1999 tadi, otomatis di Indonesia, telah lahir sistem pemerintahan baru, yaitu sistem pemerintahan yang cenderung berorientasi pada pelayanan publik (public service). Dengan kata lain, melayani masyarakat, baik aspirasi di bidang ekonomi dan pembangunan maupun di bidang politik, agama, pertahanan, dan pemberatasan korupsi.

Hal itu diwujudkan menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang mengacu pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, ditegaskan bahwa untuk mewujudkan kesejahteran umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalu pemerintahan daerah, maka harus menyelaraskan dan merujuk pada beberapa prinsip, yakni supremasi hukum, keadilan, kesetaran, tranparansi, akuntabilitas, berdaya saing, dan profesional. Dalam kadar tertentu, hal itu merupakan refleksi dari agenda Reformasi yang ditafsirkan para pemimpin kita dalam mewujudkan cita-cita negara demokrasi yang berkeadilan.

Dengan hadirnya reformasi di bidang politik tersebut, yakni pembaharuan format relasi pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, diharapkan terjadi kemudahan dalam menggontrol dan mewujudkan cita-cita dan kehendak rakyat, berupa terselenggaranya pemerintahan efektif, efisien, profesional, akuntabel, dan menjamin kepastian hukum.

Dalam sistem demokrasi, partai politik (parpol) menjadi institusi penting. Sebab, berperan istimewa dan strategis, sebagai bagian dari mewujudkan agenda perubahan bangsa. Dalam banyak kadar, parpol adalah penyambunng aspirasi dan tuntutan kemajuan masyarakat. Selain itu, parpol menjadi tempat perkaderan dan perekrutan para pemimpin daerah, sehingga mampu memperbaiki nasib publik.

Dalam konteks ini, seharusnya format dan praktik otda dapat melahirkan sistem kepemimpinan yang handal, yang membawa rakyat kepada perbaikan. Sayangnya, alih-alih lebih pintar dan pandai dalam mengelola kekuasaan, tidak jarang parpol malah terjebak pada ambisi kekuasan oligarki (politik dinasti) yang koruptif dan menolak perbaikan nasib masyarakat. Tidak hanya merugikan rakyat, melainkan juga merugikan pemerintahannya itu sendiri.

Oleh karena itu, tiba saatnya bagi parpol untuk berkompetisi sekaligus berkonsolidasi. Bukan menegakkan kekuasaaan yang bersifat oligarkis apalagi otoriter, melainkan untuk mengambil keputusan-keputusan politik yang memihak rakyat, guna menjamin terwujudnya keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dalam konteks tertentu, jelas bukan seremonial, melainkan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak ialah momentum bagi parpol untuk mengambil peranan penting. Parpol, vital, karena dengan memanfaatkan momentum pilkada, dapat membidani lahirnya pemimpin daerah yang baik.

Bagi parpol, pilkada bisa diartikan sebagai proses pelatihan kepemimpinan bagi para kader terbaiknya. Sebab, salah satu fungsi dan peranannya melahirkan pemimpin politik yang berlatar belakang parpol. Jadi, perekrutan dan kaderisasi dalam tubuh parpol menentukan kelangsungan kaderisasi kepemimpinan daerah maupun kepemimpinan di tingkat nasional.

Jelas bukan pemimpin ‘karbitan’. Melainkan, idealnya, pemimpin yang direkrut dan dikader parpol ialah tipe pemimpin yang sanggup mendengar aspirasi masyarakat. Artinya, kemunculan pemimpin daerah, baik sebagai anggota dewan maupun bupati/wali kota, mesti dari hasil seleksi terbaik atas para kader parpol. Mereka ini direkomdasikan oleh parpol untuk kepentingan memajukan daerahnya. Bukan yang bersikap picik, melainkan mereka tipe pemimpin yang prima dalam melayani kebutuhan dan kepentingan publik.

Desentralisasi dari dua perspektif

Politik desentrasliasi (otda) berkaitan erat dengan pilkada. Secara umum, desentralisasi bisa dimaknai dalam dua perspektif, yakni administrai dan politik. Dalam perspektif administrasi, desentralisasi dapat diartikan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam perspektif politik, khususnya dari perspektif kepentingan nasional, Smith (1985) menuturkan tiga tujuan utama. 

Kesatu, political education (pendidikan politik). Artinya, melalui praktik desentralisasi, masyarakat diharapkan belajar mengenali dan memahami berbagai persoalaan sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi. Dengan demikian, publik bukan saja berani menolak (tak memilih) calon anggota legislatif dan calon kepala daerah yang tidak menguasai kecakapan politik, tetapi juga belajar mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Maddick, 1963: 50-106).

Kedua, latihan kepemimpinan. Tujuan ini berangkat dari asumsi dasar, bahwa pemerintahan daerah adalah kawah pelatihan yang paling tepat bagi para politisi dan birokrat, sebelum mereka menduduki posisi-posisi penting di tingkat nasional. Dalam konteks ini, kebijakan desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan melahirkan calon-calon pemimpin level nasional.

Ketiga, menciptakan stabilitas politik. Tujuan ini menandai kepercayaan di kalangan warga, bahwa melalui sistem desentralisasi, akan terwujudlah kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith,1985: 23).

Reformasi Birokrasi

Sulit dimungkiri, semangat pilkada turut mendorong pemerintah daerah untuk berperan dan berposisi strategis dalam mengelola pemerintahan ke arah perbaikan struktural. Dalam konteks sekarang (pemerintahan Joko Widodo), jelas belaka bahwa revolusi mental mestilah dijadikan agenda penting. Jika dikaitkan dengan orde reformasi, maka konsepsi revolusi mental tersebut harus senapas dengan gagasan reformasi.

Tuntutan reformasi di negeri ini bukan saja pada aspek birokrasi melalui reformasi birokrasi, akan tetapi juga dalam aspek administrasi melalui reformasi administrasi. Reformasi berarti sebuah usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur, budaya, sikap, dan perilaku birokrasi, untuk meningkatkan terwujudnya tujuan pembangunan nasional.

Makna sesungguhnya dari reformasi birokrasi adalah sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Hal ini pertaruhan dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin menggelobal. Hal itu mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, yang mengamanatkan realisasi manajemen perubahan yang bertumpu pada pola pikir (mindset) dan budaya pikir (culture set). Adapun makna reformasi administrasi adalah sebuah perubahan besar dalam aspek administrasi.

Penghapusan sistem kekuasan yang sentralistik adalah salah satu tuntutan gerakan reformasi. Tuntutan ini disuarakan oleh gerakan mahasiswa, menjelang runtuhnya orde baru pada 21 Mei 1998. Oleh karena itu, lantaran sekarang masih berada dalam orde reformasi, maka kewajiban belaka bagi pemerintahan siapa pun dalam orde ini, untuk merealisasikan agenda Reformasi itu. Intinya mengubah pemerintahan yang otoriter (sentralistik) dengan demokrasi, melalui pelaksanaan desentralisasi, yang diterjemahkan ke dalam sistem otonomi daerah (otda).

Lantaran tuntutan tersebut menguat, maka lahirlah dua peraturan: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22  Tahun 1999 tadi, otomatis di Indonesia, telah lahir sistem pemerintahan baru, yaitu sistem pemerintahan yang cenderung berorientasi pada pelayanan publik (public service). Dengan kata lain, melayani masyarakat, baik aspirasi di bidang ekonomi dan pembangunan maupun di bidang politik, agama, pertahanan, dan pemberatasan korupsi.

Hal itu diwujudkan menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang mengacu pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, ditegaskan bahwa untuk mewujudkan kesejahteran umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalu pemerintahan daerah, maka harus menyelaraskan dan merujuk pada beberapa prinsip, yakni supremasi hukum, keadilan, kesetaran, tranparansi, akuntabilitas, berdaya saing, dan profesional. Dalam kadar tertentu, hal itu merupakan refleksi dari agenda Reformasi yang ditafsirkan para pemimpin kita dalam mewujudkan cita-cita negara demokrasi yang berkeadilan.

Dengan hadirnya reformasi di bidang politik tersebut, yakni pembaharuan format relasi pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, diharapkan terjadi kemudahan dalam menggontrol dan mewujudkan cita-cita dan kehendak rakyat, berupa terselenggaranya pemerintahan efektif, efisien, profesional, akuntabel, dan menjamin kepastian hukum.

Dalam sistem demokrasi, partai politik (parpol) menjadi institusi penting. Sebab, berperan istimewa dan strategis, sebagai bagian dari mewujudkan agenda perubahan bangsa. Dalam banyak kadar, parpol adalah penyambunng aspirasi dan tuntutan kemajuan masyarakat. Selain itu, parpol menjadi tempat perkaderan dan perekrutan para pemimpin daerah, sehingga mampu memperbaiki nasib publik.

Dalam konteks ini, seharusnya format dan praktik otda dapat melahirkan sistem kepemimpinan yang handal, yang membawa rakyat kepada perbaikan. Sayangnya, alih-alih lebih pintar dan pandai dalam mengelola kekuasaan, tidak jarang parpol malah terjebak pada ambisi kekuasan oligarki (politik dinasti) yang koruptif dan menolak perbaikan nasib masyarakat. Tidak hanya merugikan rakyat, melainkan juga merugikan pemerintahannya itu sendiri.

Oleh karena itu, tiba saatnya bagi parpol untuk berkompetisi sekaligus berkonsolidasi. Bukan menegakkan kekuasaaan yang bersifat oligarkis apalagi otoriter, melainkan untuk mengambil keputusan-keputusan politik yang memihak rakyat, guna menjamin terwujudnya keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dalam konteks tertentu, jelas bukan seremonial, melainkan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak ialah momentum bagi parpol untuk mengambil peranan penting. Parpol, vital, karena dengan memanfaatkan momentum pilkada, dapat membidani lahirnya pemimpin daerah yang baik.

Bagi parpol, pilkada bisa diartikan sebagai proses pelatihan kepemimpinan bagi para kader terbaiknya. Sebab, salah satu fungsi dan peranannya melahirkan pemimpin politik yang berlatar belakang parpol. Jadi, perekrutan dan kaderisasi dalam tubuh parpol menentukan kelangsungan kaderisasi kepemimpinan daerah maupun kepemimpinan di tingkat nasional.

Jelas bukan pemimpin ‘karbitan’. Melainkan, idealnya, pemimpin yang direkrut dan dikader parpol ialah tipe pemimpin yang sanggup mendengar aspirasi masyarakat. Artinya, kemunculan pemimpin daerah, baik sebagai anggota dewan maupun bupati/wali kota, mesti dari hasil seleksi terbaik atas para kader parpol. Mereka ini direkomdasikan oleh parpol untuk kepentingan memajukan daerahnya. Bukan yang bersikap picik, melainkan mereka tipe pemimpin yang prima dalam melayani kebutuhan dan kepentingan publik.

Desentralisasi dari dua perspektif

Politik desentrasliasi (otda) berkaitan erat dengan pilkada. Secara umum, desentralisasi bisa dimaknai dalam dua perspektif, yakni administrai dan politik. Dalam perspektif administrasi, desentralisasi dapat diartikan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam perspektif politik, khususnya dari perspektif kepentingan nasional, Smith (1985) menuturkan tiga tujuan utama. 

Kesatu, political education (pendidikan politik). Artinya, melalui praktik desentralisasi, masyarakat diharapkan belajar mengenali dan memahami berbagai persoalaan sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi. Dengan demikian, publik bukan saja berani menolak (tak memilih) calon anggota legislatif dan calon kepala daerah yang tidak menguasai kecakapan politik, tetapi juga belajar mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Maddick, 1963: 50-106).

Kedua, latihan kepemimpinan. Tujuan ini berangkat dari asumsi dasar, bahwa pemerintahan daerah adalah kawah pelatihan yang paling tepat bagi para politisi dan birokrat, sebelum mereka menduduki posisi-posisi penting di tingkat nasional. Dalam konteks ini, kebijakan desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan melahirkan calon-calon pemimpin level nasional.

Ketiga, menciptakan stabilitas politik. Tujuan ini menandai kepercayaan di kalangan warga, bahwa melalui sistem desentralisasi, akan terwujudlah kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith,1985: 23).

Reformasi Birokrasi

Sulit dimungkiri, semangat pilkada turut mendorong pemerintah daerah untuk berperan dan berposisi strategis dalam mengelola pemerintahan ke arah perbaikan struktural. Dalam konteks sekarang (pemerintahan Joko Widodo), jelas belaka bahwa revolusi mental mestilah dijadikan agenda penting. Jika dikaitkan dengan orde reformasi, maka konsepsi revolusi mental tersebut harus senapas dengan gagasan reformasi.

Tuntutan reformasi di negeri ini bukan saja pada aspek birokrasi melalui reformasi birokrasi, akan tetapi juga dalam aspek administrasi melalui reformasi administrasi. Reformasi berarti sebuah usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur, budaya, sikap, dan perilaku birokrasi, untuk meningkatkan terwujudnya tujuan pembangunan nasional.

Makna sesungguhnya dari reformasi birokrasi adalah sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Hal ini pertaruhan dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin menggelobal. Hal itu mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, yang mengamanatkan realisasi manajemen perubahan yang bertumpu pada pola pikir (mindset) dan budaya pikir (culture set). Adapun makna reformasi administrasi adalah sebuah perubahan besar dalam aspek administrasi.

Kebijakan dan pelayanan publik

Kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadikan garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan tata cara bertindak, baik tentang pemerintahan amupun tentang organisasi dan sebagainya, Kebijakan juga dapat dimaknai sebagai pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Dengan begitu, kebijakan berasal dari pemerintah atau organisasi.

Melalui tahap penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi legitimasi kebijakan, dan penilaian /evaluasi kebijakan, maka kebijakan dari negara dalam kepustakan internasional, disebut public policy (kebijakan publik). Ia berarti suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama (publik) yang harus ditaati dan berlaku mengikat kepada seluruh warga negara. Dalam hal ini, kebijakan publik berkaitan erat dengan administrasi negara. Sebab, ia bagian dari proses politik.

Sesungguhnya, reformasi birokrasi berarti penguatan terhadap pelayanan publik (public service). Pelayanan adalah bentuk kinerja yang bertujuan  melayani kepentingan masyarakat, yang tujuan dan sifatnya melayani kebutuhan rakyat. Hal ini diatur Keputusan Menteri Pendayaguanan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 63/Kep/M.PAN/7/2003. Menurut keputusan ini, kebutuhan segala kegiatan pelayanan publik dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sekarang, muncul pinilaian, bahwa kinerja pelayanan publik pemerintah masih sangat rendah alias sangat jauh dari nilai profesionalisme dan menjunjung tinggi asas transparansi dan akuntabilitas. Dengan kata lain, kinerja institusi atau lembaga publik dinilai masih banyak mengecewakan, baik dalam aspek kualitas maupun dalam aspek profesionalisme pelayanan.

Alih-alih mempertahankan kekecewaan atas pelayanan publik yang tidak prima itu, sistem desentralisasi melalui otda justru bertujuan utama mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan otda, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih prima dalam mengurus berbagai kebutuhanya dan membangun relasi yang baik serta mencari solusi atas berbagai persoalan dalam urusan publik.

Dengan demikian, jika pola dan budaya pelayanan publik dari pemerintah masih kurang profesional, maka tidak menutup kemungkin, birokrasi melahirkan dan menyuburkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Bukan hanya contradiction in terminus (bertentangan di dalamnya), melainkan praktik KKN juga-sesungguhnya-musuh utama 0tda.

Padahal, di era keterbukaan informasi publik seperti sekarang, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Informasi Publik. Dengan demikian, seharusnya pemerintah lebih terbuka dalam menjaring dan menerima informasi. Artinya pemerintah mesti membuka ruang bagi publik dalam menerima masukan dari publik, sehingga proses pengawasan dan peimbangan (check and balances), terjadi. Dengan kata lain, pemerintah harus lebih transparan dan bertanggung jawab serta bermartabat dalam mengelola urusan-urusan publik.

Perubahan struktural

Tentang strategi peningkatan pelayanan kualitas pelayanan publik (public service) yang tujuan utamanya mengubah struktur masyarakat, wabilkhusus dalam memeranggi kemiskinan alias menyejahterakan masyarakat, Todaro (1999) sudah menerangkan, bahwa Teori Perubahan Struktural bertitik tekan pada tranformasi ekonomi yang fokus pada sektor pertanian menuju struktur perekonomian yang lebih modern dan sangat didominiasi sektor industri dan jasa.

Artinya, transformasi perubahan struktural dalam beberapa sektor tersebut harus dirangsang, supaya pertumbuhan ekonomi di segala sektor daerah semakin meningkat. Selain mengentaskan kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural, juga menumbuhkan pembangunan yang berpijak pada kebijakan-kebijakan yang propoor (memihak masyarakat miskin) dan menimbulkan tricle down efek (efek kesejahteraan yang menetes ke bawah alias terhadap kalangan masyarakat miskin, sehingga lebih sejahtera) (Arthur Lewis, 1999).

Senapas dengan itu, letimpangan sosial dan politik yang dikhawatirkan berakibat ledakan sosial mesti dicarikan bentuk dan solusinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Rendra, 1983: 65). Jika melihat kemiskinan yang semakin meluas dan kronis di Kabupaten Indramayu, maka jelas saja, diperlukan kesadaran pemimpin politik untuk menata kehidupan masyarakat miskin, memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat miskin, mengurangi ketimpangan, dan mewujudkan keadilan sosial.

Dalam banyak kadar, tampaknya hal tersebut dapat ditindaklanjuti melalui pelaksanaan program-program pembangunan yang berpusat kepada masyarakat, yang mengedepankan basis partisipasi rakyat dan basis kebijakan pertumbuhan ekonomi, dan berpihak pada masyarakat miskin. Dengan kata lain, propoor dan projob yang implisit-di dalamnya-strategi propoor (memihak masyarakat miskin), projob (memihak penciptaan lapangan kerja), progrowth (mendukung pertumbuhan ekonomi), proenvironment (memihak lingkungan), dan progender (memihak keadilan jender).

Dalam hal ini, penting dimengerti bahwa kemiskinan bukan semata-mata disebabkan habitus manusia (keniscayaan manusia). Melainkan disebabkan sistem dan struktur sosial bahkan akibat ketidakberdayaan, minim akses dan peluang, dan akibat kekurangan permodalan dan kurang keterampilan.

Menurut Nugroho (2001: 45), bahkan kemiskinan dan ketidakberdayaan, sengaja diciptakan oleh sistem yang feodalistik, yang tak berpihak pada kebijakan yang menyentuh rakyat. Bentuknya seperti implementasi program pemberdayaan, kredit murah, dan program bantuan sosial dan modal.

Political marketing

Kembali lagi tentang pilkada, Sulit dimungkiri, kontestasi politik elektoral membutuhkan strategi pemasaran (marketing strategy) yang matang dan tangguh. Sebab, agar mendapatkan kekuasan, maka calon atau parpol harus memenangkan pilkada. Untuk itu, sebelum memasuki panggung politik, maka calon atau parpol perlu menyiapkan diri terlebih dahulu. Bukan tim sukses dan uang saja, melainkan yang lebih utama ialah menyiapkan gagasan-gagasan untuk membangun sekaligus menyejahterakan masyarakat di daerah,

Selain Covid-19, maka-sebagaimana dalam pilkada-pilkada sebelumnya-, maka yang mengancam kesuksesan pilkada serentak sekarang adalah oligarki (segelintir orang yang menguasai aset-aset ekonomi dan kekuasaan politik) dan politik uang (money politics). Maksudnya, bukan mustahil, kekhawatiran diserang Covid-19 membuat voters (para pemilih) enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada serentak kali ini, menurun drastis.

Pilkada serentak sekarang juga diancam kekuatan oligarki. Sebab, bukan saja kekuasaannya enggan dipreteli sebagian apalagi seluruhnya, melainkan pula yang lebih sublim dari itu, mereka-kemungkinan besar-akan menghambat bahkan menghentikan berbagai siasat demokratisasi ekonomi dan demokratisasi politik di daerah. Sebab, kalau tidak jatuh pada otokrasi, maka pilihannya tinggal dua: oligarki (kekuasaan segelintir orang) atau demokrasi (kekuasaan rakyat).

Politik uang merupakan ancaman nyata pilkada, karena ia bukan saja menghambat, tetapi juga-yang jauh lebih mendasar-tidak sebangun dengan kepentingan menciptakan para pemilih yang berintegritas. Lagi pula, tak hanya tak sepadan (tak apple to apple), melainkan menukarkan suara dengan uang pun merendahkan martabat para pemilih.

Akhirnya, calon pemimpin yang baik tak diukur dari kepemilikan dan membagi-bagikan uang kepada para pemilih, namun diukur dari integritas dan kecakapannya dalam mengelola pemerintahan yang menyatukan dan menyejahterakan masyarakat. Jadi, bukan saja tak relevan, tetapi politik uang juga dapat mengalahkan calon pemimpin yang baik tadi.

Padahal, calon pemimpin seperti itulah yang mestinya memasuki panggung dan menang. Karena, mereka akan memenangkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Dan, Pilkada sendiri bukan untuk tujuan yang lain, melainkan-hakikatnya adalah-mekanisme politik untuk memenangkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.   

Oleh karena itu, bukan gerakan sektoral, melainkan pilkada-sebenarnya-gerakan massa rakyat untuk memperbaiki atau paling tidak, mempertahankan keadaan yang sudah baik. Jadi, bukannya bersikap contradictio in terminus, justru para pemilih di daerah harus bahu-membahu dalam menciptakan pilkada yang baik, yang jadi ajang kntestasi bagi para calon pemimpin yang berintegritas dan cakap membangun daerah. Sebab, rugi besar jika politik elektoral ini tidak ramah kepada para calon pemimpin seperti itu. Alih-alih yang melanggengkan oligarkhi dan melakukan politik uang, mestinya calon pemimpin yang marketable (laku) dalam Pilkada adalah yang berintegritas dan cakap memimpin.

Bukan dengan membagi-bagikan uang, melainkan calon pemimpin yang sebaiknya berkontestasi dan dipilih publik ialah yang menyajikan berbagai agenda dan program strategis bagi daerah. Tentu bukan hanya janji, tetapi – sebagaimana diutarakan tadi – hal itu wajib ditopang oleh rekam jejak integritas dan kecakapan calon yang menjajakannya. Namun, bukan sekadar menjajakan, melainkan calon pemimpin ini mesti membangun persepsi yang baik kepada para pemilih. Caranya dengan menjaga kepercayaan publik sekaligus menawarkan program-program strategis yang dapat memajukan daerah.

Jadi, idealnya, peraihan suara terbanyak calon pada pilkada bukan lantaran politik uang dan pengaruh oligarki, melainkan oleh seberapa solidnya integritas, kecakapan, dan gagasan-gagasanya dalam memajukan daerah. Hal yang terakhir ini penting, karena tanpa gagasan-gagasan yang terencana dan terdokumentasikan, maka jika menang, kekuasaannya-kemungkinan besar-akan tidak berdampak pada kerukunan dan kesejahteraan publik dan kemajuan daerah. Dengan sarkas, kekuasaannya-kemungkinan besar-akan sia-sia, sementara para pemilihnya yang ‘merasa menang’, terjerembab dalam euforia sesaat dan-lalu-nirmakna.

Oleh karena itu, tanpa terjebak dalam kubangan politik oligarkhis dan politik uang, para calon dan tim sukses dalam pilkada justru ditantang untuk merumuskan dan mempraktikkan tiga hal sekaligus. Kesatu, political marketing (pemasaran politik) yang marketable (laku). Kedua, political marketing yang mendidik dan berdampak pada kemenangan. Ketiga, merealisasikan agenda dan program pemerintahan pasca terpilih.

Pendekatan dynamic government

Neo dan Chen (2007) menegaskan, dynamic govermance (pemerintahan yang dinamis) merupakan konsep politik pemerintahan yang menekankan pada bekerjanya berbagai kebijakan, institusi, dan stuktur yang telah disusun, agar bisa beradaaptasi dengan ketidakpastian organisasi (pemerintahan). Dengan demikian, diperlukan perubahan dan pembenahan. Dalam organisasi yang bersifat dinamis, diperlukan individu-individu bermutu dan sanggup melihat dan menangkap aneka peluang perubahan. Hal ini bukan saja memerlukan penemuan, tapi juga inovasi-inovasi dan kecakapan mengeksekusi berbagai solusi secara tepat dan cepat.

Dalam melakukan perubahan, tentu mesti didukung personialia organisasi yang cakap (terutama dalam dimensi kepemimpinan), berintegritas, dan kelompok ini mestilah-pula-bukan orang sembarangan. Dalam hal ini, pemerintahan yang dinamis pun berorientasi mengubah haluan organisasi yang statis jadi organisasi dinamis yang cepat tanggap dalam mengagregasi, manakala melihat kebuntuan kebijakan yang sukar ditanggani maupun diselesaikan. 

Pemberdayaan masyarakat

Memberdayakan masyarakat bermakna meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat sekarang, yang berada dalam kondisi tak mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Tentu bukan urusan pribadi (private) belaka, melainkan hal ini pun urusan publik alias wajib menjadi agenda pemerintah daerah.

Dalam mengurangi angka kemiskinan, seharusnya pemerintah mendorong, menciptakan, dan mengimplementasikan kebijakan publik (public policy) yang memihak kepentingan masyarakat. Dalam momentum Pilkada sekarang, tentu saja program pemulihan ekonomi (economic recovery) harus menjadi fokus utama. Sebab, wabah Covid-19 terbukti melemahkan sektor perekonomian masyarakat.

Maksudnya, kontestasi dan pemenang pilkada serentak sekarang harus memikirkan dan menempuh siasat menyetabilkan perekonomian daerah. Dalam hal ini, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) harus diprioritaskan. Sebab, sektor ini urat nadi perekonomian nasional dan daerah. Selain itu, dalam rangka menguatkan ketahanan pangan masyarakat, tentu program padat karya dan bantuan-bantuan sosial, mendesak digulirkan. Biayanya dari APBN/APBD.

Memberantas korupsi

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, korupsi menjadi masalah penting di negeri ini. Sebab, tingkat korupsinya bukan hanya sudah sangat mengkhatirkan, tetapi juga terbukti sangat berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat. jika harus dirinci, praktik korupsi sudah menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, bahkan sistem pemerintahan. Oleh sebab itu, bukan kejahatan biasa, melainkan faktanya, korupsi adalah dan harus disikapi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crame).

Korupsi jelas harus diberantas. Caranya dua: pencegahan dan penindakan. Jika pencegahan dapat dilakukan melalui kampanye, sosialiasi, dan pendidikan, maka penindakan-sebagai pilihan dan langkah terakhir-melibatkan proses hukum. Di satu sisi, banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengindikasikan lemahnya proses pengawasan dalam memberantas korupsi. Di sisi lain, hal itu juga penting, karena bagian dari upaya memberantas korupsi juga.

Seraya menjauhkan diri dari sikap ahistoris, maka penting dimengerti bahwa pemberantasan korupsi adalah salah satu agenda dan tuntutan Reformasi. Karena kini masih berada dalam orde reformasi, maka mengimplementasikan pemberantasan korupsi, tanggung jawab sejarah bangsa ini.

Sayangnya, alih-alih linier dengan agenda pemberantasan korupsi, guliran otda justru ditengarai memindahkan korupsi dari tingkat pemerintahan pusat ke tingkat pemerintahan daerah. Hal ini ironis, sebab alih-alih berdampak demokrasi ekonomi, otda malah berefek samping korupsi masif di daerah. Pertanyaannya kemudian, ada apa dengan praktik otda?

Kalau harus menoleh lagi pada segi teoritiknya, maka-sesungguhnya-ada dua tujuan dari digulirkannya kebijakan desentralisasi (otda). Kesatu, tujuan politik. Menurut tujuan politiknya, otda memosisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik masyarakat di tingkat lokal (daerah). Secara nasional, tujuannya mempercepat terwujudnya civil society (masyarakat yang berkeadaban). Kedua, tujuan administrasi. Menurut tujuan administrasi, otda memosisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi menyediakan pelayanan yang lebih efektif dan efisien kepada masyarakat.

Otda ditujukan supaya daerah daerah dapat mengelola segala sumber daya yang dimilikinya secara mandiri bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), keuangan, Sumber Daya Alam (SDA), dan berbagai sumber daya lainnya. Dengan demikian, daerah menjadi lebih sejahtera. Namun, faktanya, di era desentralisasi ini, korupsi malah semakin menjadi-jadi. Buktinya, banyak kepala daerah dan anggota DPRD yang diciduk KPK. Padahal, bukan untuk melanggengkan korupsi, namun mereka ditugaskan untuk menyejahterakan publik. Wabilkhusus anggota DPRD, dalam dan dengan otda, mereka diamanahi tanggung jawab menjadi mitra strategis bagi masyarakat dalam mengawal dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut.

Oleh karena itu, bukan mengandalkan lembaga berwenang seperti KPK saja. Melainkan, adalah mendesak bagi masyarakat untuk menggelorakan gerakan memberantas korupsi di daerah. Selain mendorong pembentukan pemerintahan yang bersih, gerakan masyarakat pun bentuk partisipasi publik dalam mengontrol langsung penyelenggaraan pemerintahan. Sebab, dalam masyarakat demokratis, partisipasi publik dibuka lebar dan sebaiknya diartikulasikan dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan menempuh berbagai usaha, agar tercipta pemerintahan yang bersih. Jika menoleh doktrin agama, maka bukan hanya mewujudkan kebahagiaan di dunia, tapi ikhtiar tersebut juga bernilai ibadah dan akan berakibat kebahagiaan bagi yang mengusahakannya, kelak, di akhirat.

Reinventing government
Komitmen otda ialah pada adanya pengawasan atau check and balances dalam mengevaluasi kebijakan dari pemerintah daerah. Sebagai lembaga otoritatif yang menampung dan menerima pengaduan masyarakat, maka agregasi terhadap aspirasi masyarakat yang dilakukan DPRD bersifat botton up (dari bawah ke atas). Dalam segi hukum, pelaksanan otda diperkuat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang lalu disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Secara sederhana, pengawasan bermakna proses pengukuran kinerja dan pengambilan tindakan untuk menjamin agar hasil (output dan outcome) sesuai dengan keinginan dan menjamin segala sesuatunya sesuai rencana (on the right track). Dengan demikian, dalam hal ini, pentingnya penyelenggaran otda adalah perihal hukum fungsi pengawasan (controlling).

Demi menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, maka pintu gerbangnya yatitu Pilkada, harus dipastikan menomorsatukan customer (masyarakat). Artinya, sejak dalam pilkada, suara rakyat harus sungguh-sungguh didengarkan dan dijadikan prioritas utama. Sebagai tindak lanjut atas hal itu, dalam pemerintahan yang terbentuk kelak, maka suara rakyat penting didengarkan dan dijadikan prioritas utama dalam tiap proses perumusan dan implementasi kebijakan pembangunan.

Pemerintah daerah  yang terbentuk harus berorientasi kinerja dan fokus meraih kepuasan publik. Jadi, pemerintahan ini harus sigap dalam merespon aneka dinamika tuntutan dan aspirasi masyarakat. Dalam konteks ini, perubahan birokrasi publik yang diperkenalkan para teoritisi adalah pendekatan New Public Management (NPM). NPM merupakan paradigma baru dalam mentranformasikan gagasan birokrasi yang kaku dalam admisitrasi publik, menjadi birokrasi yang fleksibel, berorientasi pada pasar (pengguna) dalam bentuk manajemen publik.

Bila ditarik benang merahnya, maka NPM ini menghendaki terwujudnya birokrasi publik yang memenuhi kriteria good governance (pemerintahan yang baik), enterpreuner governance (pemerintahan kewirausahaan), memicu lahirnya kompetisi, akuntabilitas, responsif terhadap perubahan, transparan, dan berpegang teguh kepada peraturan hukum yang bertujuan mewujudkan good governance dan enterpreuner governance itu sendiri (Huges, 1994; Ferlie, et.al., 1996; Osborne & Gaebler, 1992). Dalam konteks ini, itulah yang dimaksud reinventing government yang mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik.

img
Aris Syuhada
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan