close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Senin, 25 Februari 2019 17:18

Melihat iklan PSI dari sisi low attention processing theory

Strategi yang dilakukan pada iklan PSI ini tampaknya sangat tepat
swipe

Ketika membaca berita mengenai Partai Solidaritas Indonesia (PSI) beberapa hari lalu, saya melihat kolom komentar dipenuhi dengan berbagai macam komentar positif dan negatif. Namun, kebanyakan komentar negatif tersebut membahas topik yang tidak sesuai dengan isi berita. Yaitu, tentang iklan kampanye PSI.

Karena penasaran, saya mencoba melihat akun Instagram Grace Natalie, Ketua Umum PSI, dan sudah ada beberapa video iklan yang diunggah dengan berbagai respons negatif dari warganet.

“Nyesel banget waktu gue liat iklan beginian di tv, asli gak mutu,” kata salah satu warganet. “Alay banget iklannya. Norak abis,” kata yang lainnya.

Pertama kali melihat iklan tersebut, saya pribadi merasakan hal sama dengan warganet yang berkomentar negatif di unggahan Grace tersebut. Rasanya agak kurang pas, jika seorang ketua umum partai tampil di iklan dengan konten lelucon garing dan gaya berlebihan seperti itu.

Tapi ketika dipikir kembali. Apa mungkin iklan tersebut dibuat serampangan dengan hanya mengedepankan unsur milenial tanpa pertimbangan matang dan target yang jelas? Sepertinya tidak mungkin.

PSI sepertinya tidak mungkin mau kehilangan uang puluhan atau ratusan juta untuk biaya iklan yang malah memberi dampak negatif bagi mereka. Bahkan saya berkeyakinan, iklan itu dibuat dengan jasa konsultan komunikasi yang sudah dipertimbangkan secara matang efektivitasnya.

Low attention processing theory

Dalam ilmu psikologi komunikasi, teori Low Attention Processing menjelaskan, sebuah iklan dapat lebih efektif dalam memengaruhi sikap dan tingkah laku manusia, melalui kondisi atensi yang rendah atau nihil oleh seseorang.

Robert Heath, pengembang teori tersebut menjelaskan, proses penyerapan pesan oleh manusia terbagi tiga katagori: active learning yang mengoperasikan level atensi yang tinggi pada bagian kognitif, sehingga mengaktifkan proses analisis dan interpretasi; passive learning yang mengoperasikan level atensi yang rendah; dan implicit learning yang tidak mengaktifkan atensi, sehingga membiarkan pesan yang masuk tidak disaring melalui proses analisis dan interpretasi.

Jika dalam kondisi high attention, kondisi perceptual filtering (penyaring persepsi melalui proses analisis dan interpretasi) juga tinggi, sehingga membuat proses panjang bagi pesan untuk dapat memengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Karena level proses kognisi yang tinggi, pesan tersebut juga belum tentu berdampak efektif jika bertentangan dengan pikiran kritis orang tersebut.

Akan tetapi, pada kondisi low attention dan no attention, proses perceptual filtering juga menjadi lemah atau bahkan tidak ada sama sekali. Sehingga membuat pesan yang disampaikan lebih gampang diserap tanpa rintangan pikiran kritis manusia.

Kembali pada iklan PSI, ketika para penonton memiliki ketidaksukaan dengan kemasan iklan tersebut, maka mereka akan lebih sedikit atau bahkan tidak menaruh perhatian saat tayangan tersebut muncul kembali di televisi. Pada saat itu, pikiran bawah sadar manusia lebih terbuka lebar sehingga lebih mudah untuk disisipkan pesan-pesan dari iklan tersebut.

Tentunya, pesan yang dimaksud di sini bukanlah pesan berupa kata-kata tekstual. Karena tentu saja konten dari pesan di iklan PSI tersebut juga tidak berkolerasi secara langsung pada pesan untuk memilih partai baru itu pada Pemilu nanti. Pesan utama dan tersirat dari iklan tersebut adalah nama Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu sendiri, agar melekat di pikiran bawah sadar masyarakat.

Dengan kondisi pemilu serentak 2019 yang lebih rumit dengan lima kertas suara, belasan partai dan ratusan calon legeslatif, strategi yang dilakukan pada iklan PSI ini tampaknya sangat tepat. Membuat masyarakat mengingat pesan-pesan tekstual berupa visi dan misi, jargon, dan lain-lain bukanlah hal yang mudah.

Menyelipkan nama sebuah partai pada pikiran bawah sadar manusia tampaknya lebih efektif. Sehingga pada saat masyarakat di berada bilik suara dan dihadapkan dengan banyaknya informasi secara langsung yang membingungkan, maka akan terjadi proses recall (mengingat kembali) untuk menentukan pilihan. Pada saat itulah efektivitas iklan yang “kurang bermutu” tersebut dapat dirasakan.

img
Irwan Saputra
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan