Jabatan 9 tahun kades, godaan nakal parpol jelang Pemilu 2024
Minggu ini, kita dikejutkan oleh demontrasi dari kepala Desa, BPD dan perangkat desa di Gedung DPR pada 17 Januari 2023. Demonstrasi dilakukan untuk “menuntut” agar perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dengan periodesasi tidak terbatas atau maksimal tiga periode dimasukkan dalam revisi UU No 6 Tahun 2014.
Saya sebut tuntutan, sebab bola panas masa jabatan sesungguhnya tidak pernah digulirkan oleh kepala desa, BPD maupun organisasi desa. Gagasan masa jabatan sembilan tahun lebih pada usulan dari beberapa politisi khususnya kader PDI dan PKB. Bahkan Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Halim Iskandar, dalam setiap kesempatan selalu menyampaikan gagasan, akan lebih baik jika masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun dalam rangka memberi konsolidasi pembangunan di desa.
Bahkan ada dukungan dan sokongan agar kepala desa melalui organisasi, agar melakukan demonstrasi di DPR dan partai dan tokoh tokoh politiknya akan menerima aspirasi tersebut, sebagai bagian prioritas dari rencana revisi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Organisasi desa seperti Apdesi, Abpednas dan DPN PPDI, sangat mengetahui aspirasi “jabatan sembilan tahun” akan menjadi perdebatan di ruang publik. Bahkan di kepala desa, BPD serta perangkat desa, terbelah menjadi dua kelompok. Ada yang mendukung yang diwakili kepala desa, BPD dan perangkat desa yang datang demo di DPR dan lebih banyak kelompok yang tidak mendukung. Mereka yang tidak mendukung ini adalah kepala desa, BPD dan perangkat desa yang menganggap jabatan enam tahun tiga periode adalah terbaik sesuai dengan UU No 6 Tahun 2014.
Ruang publiki melalui media sosial, media massa dan online sangat beragam menanggapinya. Bahkan banyak pakar, tokoh dan akademisi yang melihat bahwa “tuntutan masa jabatan sembilan tahun” harusnya masuk dalam bagian transisi politik dan demokrasi di Indonesia.
Di mana batasan kekuasaan perlu dilakukan. Pejabat publik pemerintahan yang dipilih melalui proses politik, harus ada pembatasan periodesasi kekuasaan. Sebab masa jabatan mengandung nilai moral, filosofis, sosiologis dan hukum. Masa jabatan berlebih akan membuka peluang penyalagunaan dan penyimpanan kekuasan, berupa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kekuasaan berpusat jika tidak dibatasi dalam konteks sosialogi akan menutup ruang koreksi dan kaderisasi. Perdebatan pembatasan kekuasan dari proses amandeman UU Dasar 1945 mengenai hal itu kemudian melahirkan Pasal 7 UU Dasar 1945, yang berisi “Presiden dan Wakil presiden menjabat lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan sama dan hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Pembatasan jabatan presiden dengan maksimal dua periode ini, kemudian menjadi pijakan reformasi kekuasaan. Yang akhirnya diberlakukan untuk seluruh pejabat publik “dalam ranah eksekutif” yang dipilih melalui proses politik, dan pengecualian hanya terjadi ke kepala desa yang diberi
keistimewaaan menjabat enam tahun dan tiga periode.
Minggu ini, kita dikejutkan oleh demontrasi dari kepala Desa, BPD dan perangkat desa di Gedung DPR pada 17 Januari 2023. Demonstrasi dilakukan untuk “menuntut” agar perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dengan periodesasi tidak terbatas atau maksimal tiga periode dimasukkan dalam revisi UU No 6 Tahun 2014.
Saya sebut tuntutan, sebab bola panas masa jabatan sesungguhnya tidak pernah digulirkan oleh kepala desa, BPD maupun organisasi desa. Gagasan masa jabatan sembilan tahun lebih pada usulan dari beberapa politisi khususnya kader PDI dan PKB. Bahkan Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Halim Iskandar, dalam setiap kesempatan selalu menyampaikan gagasan, akan lebih baik jika masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun dalam rangka memberi konsolidasi pembangunan di desa.
Bahkan ada dukungan dan sokongan agar kepala desa melalui organisasi, agar melakukan demonstrasi di DPR dan partai dan tokoh tokoh politiknya akan menerima aspirasi tersebut, sebagai bagian prioritas dari rencana revisi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Organisasi desa seperti Apdesi, Abpednas dan DPN PPDI, sangat mengetahui aspirasi “jabatan sembilan tahun” akan menjadi perdebatan di ruang publik. Bahkan di kepala desa, BPD serta perangkat desa, terbelah menjadi dua kelompok. Ada yang mendukung yang diwakili kepala desa, BPD dan perangkat desa yang datang demo di DPR dan lebih banyak kelompok yang tidak mendukung. Mereka yang tidak mendukung ini adalah kepala desa, BPD dan perangkat desa yang menganggap jabatan enam tahun tiga periode adalah terbaik sesuai dengan UU No 6 Tahun 2014.
Ruang publiki melalui media sosial, media massa dan online sangat beragam menanggapinya. Bahkan banyak pakar, tokoh dan akademisi yang melihat bahwa “tuntutan masa jabatan sembilan tahun” harusnya masuk dalam bagian transisi politik dan demokrasi di Indonesia.
Di mana batasan kekuasaan perlu dilakukan. Pejabat publik pemerintahan yang dipilih melalui proses politik, harus ada pembatasan periodesasi kekuasaan. Sebab masa jabatan mengandung nilai moral, filosofis, sosiologis dan hukum. Masa jabatan berlebih akan membuka peluang penyalagunaan dan penyimpanan kekuasan, berupa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kekuasaan berpusat jika tidak dibatasi dalam konteks sosialogi akan menutup ruang koreksi dan kaderisasi. Perdebatan pembatasan kekuasan dari proses amandeman UU Dasar 1945 mengenai hal itu kemudian melahirkan Pasal 7 UU Dasar 1945, yang berisi “Presiden dan Wakil presiden menjabat lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan sama dan hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Pembatasan jabatan presiden dengan maksimal dua periode ini, kemudian menjadi pijakan reformasi kekuasaan. Yang akhirnya diberlakukan untuk seluruh pejabat publik “dalam ranah eksekutif” yang dipilih melalui proses politik, dan pengecualian hanya terjadi ke kepala desa yang diberi
keistimewaaan menjabat enam tahun dan tiga periode.
Dalam berbagai pertemuan kepala desa, BPD dan perangkat desa yang kami ikuti dalam delapan tahun terakhir, termasuk pelaksanaan Silatnas Desa 2023 pada Maret 2022 yang dihadiri oleh presiden dan Rakornas Desa pada Desember 2023 di Kalimantan Timur, aspirasi masa jabatan sembilan tahun, sudah mulai dibicarakan tetapi tidak menjadi prioritas tuntutan.
Hanya dalam satu tahun terakhir menjelang Pemilu 2024 “Keinginan dan dorongan dari partai politik termasuk Menteri Desa” lebih mengedepankan isu sembilan tahun masa jabatan, dibanding persoalan desa lainnya. Apdesi, Abpednas dan PPDI sebenarnya mengetahui kalau pemerintah kurang setuju.
Hal itu dapat dilihat dari tidak dimasukkannya revisi UU No 6 Tahun 2014 dalam Prolegnas 2020-2024. Tetapi karena dorongan dan godaan cukup kuat dari partai, khususnya partai politik pendukung pemerintah bahkan menjadi narasi penuh semangat oleh “Menteri Desa” sebagai pembantu presiden, maka keyakinan kami mulai tumbuh bahwa pemerintah dan DPR sepakat untuk melakukan revisi UU No 6 Tahun 2014, dengan memasukkan masa jabatan sembilan tahun sebagai poin penting.
Organisasi desa akhirnya merespons ini dengan dua pola. Ada yang melakukan demonstrasi ke DPR menuntut “janji politik” dan ada yang melakukan langkah soft power. Langkah terakhir dilakukan dengan lobi dengan melakukan RDP dengan Komisi II DPR pada 12 Januari 2023 di ruang Rapat Komisi II.
Kesempatan itu disampaikan aspirasi revisi UU No 6 2014 termasuk jabatan kepala desa dan BPD menjadi sembilan tahun maksimal tiga periode. Bahkan Apdesi sudah membuat draf UU persandingan dari UU No 6 Tahun 2014 serta DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) untuk menjadi usulan revisi UU No 6 Tahun 2014 pada 2023. Kemudian, Komisi II DPR sepakat memasukkan Prolegnas Prioritas 2023 untuk melakukan revisi UU No 6 Tahun 2014.
Dalam memperkuat pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, saya selalu mengajak dan mengingatkan kepala desa, BPD dan perangkat desa dengan adanya UU No 6 Tahun 2014 agar lebih fokus pada pembangunan desa. Khususnya menjalankan penegasan undang-undang, yaitu mendukung percepatan pembangunan desa, menyukseskan penyelenggaraan pemerintahan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pembardayaan masyarakat desa.
Menyuarakan masa jabatan sembilan tahun bukan hal yang sangat prioritas yang harus menghabiskan energi, guna menghindari pretensi Serakah dan Gila Jabatan oleh masyarakat.
Itulah sebabnya masyarakat dan warga desa pun terbelah setuju dan tidak setuju atas masalah itu. Makanya, anggapan aspirasi sembilan tahun hanya keinginan kepala desa dan BPD untuk melanggengkan kekuasaan harus dihindari.
Perlu diingat, dalam konteks pemerintahan, kepala desa tetap dikategorikan sebagai pejabat eksekutif. Jika dilihat dari ciri, tugas, dan fungsinya, kepala desa adalah pejabat eksekutif yang diberikan kekuasaan eksekutif oleh undang-undang.
Dalam ranah eksekutif, kepala desa dan BPD diangkat dari proses politik sama dengan presiden, bupati, gubernur dan wali kota semua dipilih melalui proses politik dipilih langsung oleh masyarakat.
Ciri utama organ eksekutif adalah mandat berupa kewenangan dan tanggung jawab. Dalam konteks masa lama masa jabatan ,kepala desa dan BPD sudah sangat diistemewakan dibandingkan presiden, bupati, wali kota, dan gubernur, yang masa jabatannya adalah lima tahun dan maksimal dua periode.
Sedangkan kepala desa dan BPD masa jabatannya enam tahun dan maksimal tiga periode. Di mana, ada satu keistimewaan yang diberikan kepada kepala desa, khususnya masa jabatan mulai dari Pasal 52 PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang menyebutkan masa jabatan kepala desa delapan tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Kemudian dilanjutkan dengan Pasal 39 UU No 6 Tahun 2014, di mana masa jabatan kepala desa adalah enam tahun dan maksimal tiga periode.
Pasti banyak yang bertanya, kenapa ada keistimewaan tersebut. Konstruksi utamanya adalah karena kepala desa dan BPD adalah pejabat terdepan memberikan layanan 24 jam kepada masyarakat desa. Kedua karena kepala desa dianggap sebagai tokoh terdepan yang dapat menentukan pilihan politik kepada masyarakat. Pilihan politik itu termasuk di antaranya partai politik. Sehingga, kepentingan partai dan politisi kepada kepala desa sangatlah besar terlebih menghadapi pemilu setiap lima tahun.
Sejak diberlakukannya UU No 6 Tahun 2014, dalam pandangan kami, ada tiga hal persoalan krusial yang senantiasa menjadi aspirasi kepala desa, BPD dan perangkat desa, tetapi tidak mendapatkan dukungan serius oleh partai politik.
Tiga hal ini sangat penting dalam membantu proses percepatan pembangunan desa. Tiga hal tersebut senantiasa disuarakan dan disampaikan kepala desa, BPD dan perangkat desa dalam forum desa tingkat daerah maupun nasional, termasuk disampaikan ke DPR, yang disuarakan ke anggota DPR saat reses.
Tiga hal tersebut yaitu, pertama, gaji kepala desa, BPD, dan perangkat desa sangat kecil dan dibayarkan pertiga bulan/triwulan. Padahal kepala desa, BPD dan perangkat desa adalah pelaksana pemerintahan terdepan, bekerja tanpa batas waktu melayani masyarakat.
Sesuai regulasi gaji kepala desa hanya sebesar Rp3.600.000, perangkat desa Rp2.300.000-Rp2.800.000, sedangkan gaji BPD minimal 20% dari setiap kepala desa atau sekitar Rp870.000 per bulan. Gaji tersebut tentu jauh dari cukup jika dilihat pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan terdepan di masyarakat, sehingga aspirasi penambahan gaji dan pembayaran gaji dilakukan per bulan senantiasa disampaikan.
Kedua, sejak berlakunya UU Desa, kepala desa selalu menyuarakan tentang biaya operasional pemerintahan desa. Kepala desa adalah pelaksana pemerintahan yang diberikan mandat melakukan pelayanan 24 jam, tetapi tidak diberi biaya operational. Hal itu menyebabkan banyak kepala desa “nyambi cari penghasilan tambahan dan tidak fokus”.
Padahal kepala desa dituntut sebagai pejabat yang harus memiliki operasional dalam pelaksanaan tugas sehari hari. Kepala desa umumnya menggunakan dana pribadi untuk menunjang operational pelayanan pada masyarakat.
Ketiga, pengelolaan dana desa yang otonom dan mandiri dengan dilaksanakan sesuai aspirasi masyarakat melalui musyawarah desa. Otonom dan mandiri seakan dikebiri oleh kebijakan atau regulasi turunan UU No 6 Tahun 2014, sehingga keputusan Musrembang Desa, seakan hanya menjadi “pelengkap pembangunan desa”. Semua diatur dan ditentukan oleh kebijakan dibuat pemerintah pusat.
Tiga hal krusial tersebut oleh partai politik tidak pernah mendapatkan respons serius. Terlebih mendapat dukungan untuk memperbaiki, bahkan sekelas Kementerian Desa sudah berganti tiga menteri, tidak menjadikan tiga hal tersebut di atas sebagai persoalan yang harus direspons serius.
Namun kepala desa, BPD dan perangkat desa menyampaikan tiga hal tersebut dalam dialog dan menyampaikan aspirasi ke presiden pada pelaksanaan Silatnas Desa 2023. Kemudian, presiden memerintahkan agar tiga poin ini diperbaiki sesuai aspirasi kepala desa. Termasuk di antaranya Perpes 104 tentang Penggunaan Dana Desa yang penggunaannya minimal 40% harus digunakan untuk biaya Covid-19 dan recovery pasca-Covid menjadi maksimal 40%.
Padahal lebih 12.000 kades telah menyampaikan aspirasi ke Istana dan DPR, tetapi saat itu tidak ada partai politik menyuarakan dukungan bahkan menerima aspirasi pun, DPR tidak melakukannya.
Belajar dari pengalaman di atas dalam hubungannya masa jabatan sembilan tahun, organisasi desa kepala desa, BPD, dan perangkat desa seluruh Indonesia, menilai, bahwa janji masa jabatan sembilan tahun untuk kepala desa dan BPD “bisa jadi hanya gula-gula manis yang dilemparkan partai politik untuk menarik simpati menghadapi Pemilu Legislatif dan Presiden 2024”.
Sebab semua tahu, jika mendapatkan simpatik dan mendapatkan dukungan kepala desa, BPD, perangkat desa, sama dengan mampu mengendalikan 30%-70% suara basis yang ada di desa di Indonesia. Sekarang pertanyaannya, benarkan partai politik serius, dan akankah presiden setuju “sesuai dengan kalimat saudara Budiman Sujatmiko” yang membawa nama pemerintah, bahwa presiden setuju masa jabatan sembilan tahun untuk kepala desa dan BPD, “waktu yang akan membuktikan”.
Apdesi sangat mengapresiasi Menteri Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Halim Iskandar yang terdepan menyuarakan masa jabatan sembilan tahun. Walau secara etika pemerintahan, sebagai pembantu presiden, harusnya Menteri Desa mengurusi desa dengan meminta pandangan presiden. Khususnya apakah konstruksi masa jabatan ini bisa dilaksanakan atau tidak. Sebab menjanjikan masa jabatan sembilan tahun bagi kepala desa, BPD, dan perangkat desa menjelang pemilu. Ibarat “membangunkan singa tidur pemilik konstituen terbesar di Indonesia”. Apalagi ini menjelang Pemilu 2024.
Seharusnya di pemerintahan ada kesepahaman dulu apakah ini strategis untuk diutarakan atau tidak. Sebab perubahan masa jabatan akan sangat memengaruhi siklus kebijakan, pola penganggaran dan juga koordinasi pemerintahan.
Sebagai organisasi pemerintahan desa terbesar di Indonesia, Apdesi tentu menyambut baik dukungan dan perhatian partai politik untuk merevisi UU No 6 Tahun 2014, sebab kami menganggap banyak hal harus disempurnakan, dilengkapi, atau disesuaikan dalam perjalanan sembilan tahun UU No 6 Tahun 2014.
Dalam diskusi terbatas tiga organisasi desa, Apdesi (kepala desa) Abpednas (BPD) dan PPDI (perangkat desa), sangat memberi apreasiasi kepada partai politik, yang melontarkan gagasan revisi UU No 6 Tahun 2014 terlebih jika dilaksanakan di 2023.
Tetapi kepala desa, BPD, dan perangkat desa, tentu tidak akan terjebak dalam mainan politik menjelang Pemilu 2024. Karena bola panas ‘Revisi UU NO 6 Tahun 2014” sudah digelindingkan, maka tentu kepala desa, BPD, dan perangkat desa akan menuntut balik “partai politik yang menyuarakan bola panas, janji revisi UU No 6 Tahun 2014, tetapi tidak direalisasikan menjelang Pemilu 2024”.
Jangan sampai kepala desa, BPD dan perangkat desa, menganggap ini hanya godaan nakal partai politik atau politisi hanya untuk meraup suara basis desa menghadapi Pemilu 2024 dengan mengedepankan isu jabatan sembilan tahun.
Saat ini kepala desa, BPD, dan perangkat desa ingin melihat keseriusan partai politik atau kader partai yang menyuarakan khususnya PKB, PDIP, Gerindra, Golkar, yang dalam menyuarakan revisi UU No 6 Tahun 2014, agar benar-benar bisa dilaksanakan.
Sebab jika tidak terlaksana, bisa jadi akan menimbulkan kampanye negatif ke partai politik yang menyuarakan. Meminjam istilah kepala desa yang demo di DPR, bahwa ketika janji tidak terealisasi maka “kepala desa akan menenggelamkan suara partai di desa di 2024’ .
Sekarang godaan nakal partai politik sudah dilemparkan ke ruang publik dengan dengan narasi, argumentasi, dan logika pembenaran. Di sisi lain, publik banyak mengecam dan masyarakat desa sendiri banyak menolak penambahan masa jabatan kepala desa dan BPD.
Tetapi kepala desa, BPD, dan perangkat desa pasti bisa meyakinkan masyarakat akan tujuan revisi UU No 6 tahun 2014. Catatan penting dari dinamika ini adalah, agar tidak sekedar menjadi godaan atau janji politik semata menghadapi Pemilu 2024.
Olehnya, ada dua hal penting yang kiranya bisa dipenuhi dan direalisasikan partai politik agar tumbuh keyakinan kepala desa, BPD, dan masyarakat desa percaya kalau ini bukan hanya godaan atau upaya menarik simpati menjelang Pemilu 2024.
Dua “aspirasi” ini menjadi kesepakatan di internal Apdesi, Abpednas dan PPDI yang merepresentasikan kepala desa, BPD, dan perangkat desa seluruh Indonesia. Sekaligus mengukur keseriusan partai politik, termasuk politisi yang ramai-ramai bersuara memberi dukungan revisi UU No 6 Tahun 2014 diukur dengan:
1. Revisi UU No 16 Tahun 2014 di 2024, yang direalisasikan sebelum pemilu dengan memulai memasukkan revisi UU No 6 Tahun 2014 masuk dalam Prolegnas Strategis 2023. Sebab dalam catatan Apdesi, dari 257 UU Prolegnas yang disepakati pemerintah, DPR, dan DPD, UU No 4 Tahun 2014 tidak masuk UU Prioritas 2020- 2024, bahkan tidak ada dalam 41 UU Prioritas Prolegnas 2023 yang disepakati.
Jika sampai September 2023 revisi UU No 6 Tahun 2014 tidak dilaksanakan dan pembahasan selesai sebelum masa kampanye Pemilu 2024, maka kepala desa, BPD, dan perangkat desa, bisa menyimpulkan “wacana 9 tahun” hanya godaan politik menjelang Pemilu 2024, godaan yang menimbulkan kegaduhan.
Wajar rasanya jika ada kampanye balik, jangan memberikan dukungan kepada partai politik atau politisi yang menyuarakan ‘Revisi UU No 6 Tahun 2014” tetapi tidak mampu merealisasikan sebelum Pemilu 2024.
2. Kepala desa, BPD, dan perangkat desa serta warga desa menuntut kenaikan anggaran dana desa sebesar 7%-10% dari APBN atau sekitar minimal Rp150 triliun pertahun atau berbanding Rp4-5 miliar per desa.
Dana desa yang cukup akan memberi manfaatnya signifikan dalam pembangunan desa. Dampak positif dana desa dalam delapan tahun dapat dilihat dari besarnya pembangunan desa di antaranya terbangun 227.000 km jalan produksi, penghubung di desa-desa, terbangunnya 4.500 embun pertanian menunjang pengairan pertanian, terbangunnya 71.000 buah irigasi pertanian, dibangunnya 1,3 juta meter penghubung ekonomi desa, 10.300 pasar desa didirikan dan direnovasi, 57.200 BUMDes dan unit usaha desa didirikan, ada lebih 6100 tambatan perahu nelayan dibuat.
Dan banyak manfaat lainnya dirasakan masyarakat desa khususnya peningkatan infrastruktur, perbaikan pelayanan masyakarat, perbaikan SDM dan peningkatan ekonomi masyakat desa.
Peningkatan dana desa akan memberi manfaat untuk pembangunan desa sebagai penopang ekonomi nasional. Selama delapan tahun, total dana desa telah dikucurkan adalah Rp468 triliun. Yang tertinggi pada 2021 sebesar Rp72 triliun atau 3,3% dari APBN sebesar Rp2750 triliun dengan persentase 2,56% dari APBN, angka itu terlalu kecil jika membandingkan luas wilayah Indonesia yang 91% adalah desa, dengan penduduk 85,1% tinggal di desa.
Jika partai politik ingin serius melihat pembangunan desa menjadi tulang punggung ekonomi nasional, pusat pertumbuhan, menghindari migrasi ke kota dan narasi narasi pembangunan lainnya yang timbul selama ini, maka Apdesi, Abpednas, dan DPN PPDI mendorong agar APBN 2024 memberikan formulasi sebesar 7-10% APBD digunakan untuk dana desa.
Perhitungan yang dipakai pemerintah pusat selama ini, yaitu 10% dari dana transfer, tidaklah bijak jika menelaah manfaat yang diterima. Dengan peningkatan dana desa, kita akan melihat desa-desa di Indonesia akan tumbuh lebih maju, lebih mandiri. Simulasi yang dilakukan Apdesi, minimal Rp150 triliun, harusnya dikucurkan ke desa setiap tahun.
Sekarang saat tepat menguji keseriusan partai politik apakah ingin melihat desa maju dan mandiri. Jika serius ingin mendapat dukungan politik menjelang 2024, maka masukkan ini menjadi napas perjuangan di APBN 2024 dan kepala desa, BPD, dan perangkat serta masyarakat desa harsu direalisasikan sebelum Pemilu 2024.
Dua poin di atas tidaklah bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Masa jabatan sembilan tahun memberi fase konsolidasi pembangunan lebih baik pada pelaksana pemerintahan desa. Di sisi lain, dana desa yang maksimal akan memberikan manfaat sangat besar buat masyarakat dalam pendorong kemajuan Desa.
Apdesi, Abpednas, PPDI, menunggu realisasi janji politik. Partai politik jangan melempar bola panas revisi UU No 6 Tahun 2014 hanya memasukkan perpanjangan masa jabatan sembilan tahun, tanpa memasukkan aspirasi lainnya. Yaitu, peningkatan dana desa. Partai politik harus berjuang serius merealisasikan dua hal di atas. Tentu kepala desa, BPD, dan perangkat desa tahu cara berterima kasih.
Apdesi memahami bahwa 2023-2024 adalah tahun politik dan banyak hal bisa disinergikan tujuannya satu “Kemajuan dan Kesejahteraan Desa”. Kami percaya bahwa revisi UU No 6 Tahun 2014 bisa direalisasikan dengan memasukkan dua poin tersebut di atas, syaratnya partai politik serius khususnya partai politik pendukung pemerintah.