close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Kamis, 25 Oktober 2018 21:46

Berebut suara santri

Kalangan santri juga sadar dan punya kalkulasi politik sendiri dan mereka tidak lagi mau hanya dimobilisasi mendukung kandidat tertentu
swipe

Dalam setiap hajatan pemilu suara kalangan santri selalu menjadi rebutan, mulai dari kontestasi tingkat lokal sampai pada level nasioanal. Para politisi sangat faham akan keberadaan kaum santri yang secara proporsi sangat besar dan akan sangat mempengaruhi peta politik, sehingga dukungan dari segmen ini memberi kontribusi yang sangat besar terhadap tingkat keterpilihan mereka. 

Secara kultural para santi sangat manut, taat dan patuh pada titah para kiai yang meraka anggap sebagai pemimpin dan guru mereka. Ketaatan para santri ini menjadikan pola kepemimipinan dalam pesantern menjadi Paternalistik dimana pengaruh kepemimpinan (kiai) mempunyai legitimasi dan penerimaan yang sangat kuat dan pemimpin diaanggap sebagai pelindung yang dapat mengayomi layaknya seorang bapak terhadap anak-anaknya. Sehingga untuk mendapatkan dukungan politik dari kalangan satri para politisi mutlak harus melakukan pendekatan yang intens pada para kiai sebagai pemengang otoritas di pesantren.    

Kuatnya pengaruh para kiai tidak hanya terpaku pada pesantren tempat mereka mengembangkan pendidikan, namun juga meluas pada lingkup masyarakat tempat mereka tinggal. Dengan kata lain kiai punya basis massa potensial yang akan sangat menguntungkan jika mereka mengarahkan danmemberikan dukngannya pada salah satu kandidat atau partai tertentu.

Para palaku politik tentu sangat menyadari situasi ini, kiai menjadi magnet elektoral (vote getter) yang memberikan dampak sangat signifikan terhadap perolehan suara dalam pemilu. Maka tidak heran dalam setiap hajatan politik kiai dan santri akan selalu mendapat kunjungan dan safari politik dalam bungkus silaturrahmi oleh elit politik dan para politisi.

Kunjungan dan safari politik ini tidak bisa terbantahkan punya motif untuk melakukan pendekatan dan mencari simpati dari kiai dan santri dalam rangka memuluskan langkah politik dan mendapatkan dukungan dari para kiai.

Namun para politisi saat ini harus memutar otak dan harus lebih sensitif, karena para kiai juga sudah sangat berpangalaman dalam menghadapi situasi politik yang menempatkan mereka dalam pusaran perebutan dukungan.

Sensifitas para politisi yang dimaksudkan adalah pertama, belum tentu memberikan dukungan. Bahwa sambutan dan keramahtamahan para kiyai dan santri ketika datang untuk berkunjung ke pesantren bukanlah berarti mereka telah memberikan dukungan politik “gratis”.  

Para kiai secara adab tentu akan sangat memuliakan para tamu yang datang berkunjung, namun belum tentu akan memberikan dukungan politik dalam bentuk suara di TPS.

Kedua, pragmentasi kiai dan pesanten. Sebaran dan jumlah pesanten diseluruh Indonesia (terutama di pulau Jawa) menjadikan para kiai bersifat lebih otonom dalam membina dan mengurus pesantrennya masing masing, bahkan samapi urusan politik. Tidak ada alur komando dan intruksi yang membuat para kiai hanya mengikuti arus dukungan terhadap kanddat tetentu bahkan yang tergabung dalam satu organisasi sekalipun.

Situasi ini tentu membuka ruang kepada masing-masing kubu pendukung capres-cawapres untuk melakukan pendekatan yang lebih intensif karena peluang untuk mendapatkan dukungan dari kalangan santri masih terbuka lebar. Pendekatan yang intensif dan kemampuan memberikan janji yang menyakinkan bisa menjadi kunci dalam pendekatan ini, bukan hanya terpaku pada kandidat yang pernah nyantri atau tidak. Karena kalangan santri juga sadar dan punya kalkulasi politik sendiri, dan mereka tidak lagi mau hanya dimobilisasi mendukung kandidat tertentu dan dikemudian hari mereka diabaikan dan ditinggalkan.
 

img
Pangi Syarwi Chaniago
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan