close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Rabu, 04 September 2019 21:12

 Autokritik regenerasi politik

Demokrasi terancam tenggelam jika perbaikan kualitas dan regenerasi tidak optimal dilakukan.
swipe

Pascapemilu 2019, hajatan demokrasi lokal langsung akan digelar pada 2020 yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Pilkada serentak ketiga ini akan dilaksanakan di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Ini peluang besar bagi hadirnya pemimpin dari kaum milenial.

Peluang hadirnya kepemimpinan milenial pernah dilontarkan Presiden Jokowi. Sinyal pernah diberikan Jokowi terkait peluang pengisian salah satu pos menteri untuk anak muda atau milenial. Generasi muda, khususnya milenial, sebenarnya siap dan harus dipersiapkan guna mengisi hingga melanjutkan estafet kepemimpinan. Negeri Jiran sudah memberi contoh dengan penunjukan Menteri Olahraganya dari generasi milineal. Saatnya Indonesia mengikuti dengan menuntut keberanian pemimpin dan parpol.

Regenerasi kepemimpinan

Generasi era kini diwarnai oleh kehadiran generasi milenial. Demokrasi terancam tenggelam jika perbaikan kualitas dan regenerasi tidak optimal dilakukan. Di pihak lain, gerakan apatis seperti golput terus menggema. Anggapan politik itu kotor juga terus digemakan secara masif. Memang demokrasi di negeri ini masih dibayangi oleh sengkarut permasalahan dan tontonan tidak berkualitas dari segelintir oknum politisi.

Bagaimanapun demokrasi menjadi pilihan tunggal bagi regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Mau tidak mau demokrasi harus dibenahi bersama. Kaum muda juga mesti mendapatkan porsi strategis sebagai pelanjut estafet kepemimpinan.

Prasyarat harus berpengalaman adalah bentuk feodalisme politik. Pengalaman anak muda tentu membutuhkan media dan ruang untuk diasah. Pengkaderan menjadi syarat mutlak dan konsekuensi logis guna memenuhi urgensi regenerasi. Pengisian pos menteri dari generasi milenial selain bukti keberpihakan juga menjadi penyiapan regenerasi kepemimpinan.

Sayangnya kaderisasi parpol masih jauh panggang dari api. Parpol yang berbasis kaderisasi rapi dapat dihitung jari. Pola instan menjadi senjata andalan pada setiap kontestasi demokrasi. Alhasil bukan kualitas yang dipersyaratkan, namun materi dan popularitas semata.

Potensi kaum muda sangat prospektif bagi politik baik secara kuantitas maupun kualitas. Indonesia kini menghadapi bonus demografi. Proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035 menguatkan bahwa bonus demografi akan berlanjut, jendela peluang melebar, dan angka ketergantungan dapat mencapai 47 per 100 pekerja (FEUI, 2014).

Fenomena ini sayang jika diabaikan, sehingga pemanfaatan terbuka dilakukan termasuk untuk kepentingan demokrasi.  Jika tidak dimanfaatkan optimal, maka bonus demografi akan menjadi beban, seperti pengangguran dan munculnya penyakit sosial kaum muda.

Urgensi kaderisasi

Konsekuensi logis atas penyiapan regenerasi kepemimpina kepada kaum milenial hanyalah dengan kaderisasi. Penunjukan tersebut tentu tidak boleh sembarang. Generasi milenial yang ditunjuk mesti tetap benar-benar berkualitas, profesional, ideolog, dan bukan hasil transaksi politik. 

Selama ini karier politik anak muda cenderung terkalahkan oleh senjata instan parpol menggaet orang kaya, populer, artis dan lainnya. Cara ini tentu hanya akan menghadirkan kesuksesan semu dan jangka pendek. Keberlanjutan parpol atau ideologi tertentu akan tidak terjamin tanpa kaderisasi yang rapi. Banyak hal perlu diperhatian guna optimalisasi kaderisasi kepada generasi milenial.

Pertama, kejelasan dan penguatan ideologi yang diusung. Parpol atau pemimpin mesti jelas dan tegas terkait ideologinya. Hal ini paling fundamental guna mengarahkan garis perjuangan. Selain itu ideologi menjadi daya tawar kepada publik, termasuk anak muda. Sosialisasi masif diperlukan melalui pembahasaan sesuai sasaran serta serangkaian pembuktian di lapangan. Keteladanan dan konsistensi atas aplikasi ideologi tersebut menjadi tantangan berat yang haru ditunjukkan.

Kedua, mesti memahami karakter psikologis anak muda. Generasi muda masa kini terbagi dalam tiga entitas. Ketiganya adalah generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z (1998-sekarang) (Tapscott, 2009). Masing-masing memiliki karakter yang penting dipetakan guna mendapatkan strategi jitu masuk dan berinteraksi dengan mereka.  Kreasi dan inovasi program diperlukan sebagai senjata pendekatan.

Ketiga, memberikan kepercayaan strategis kepada kaum muda. Obyek kaum muda tentu membutuhkan energi besar dan pihak yang memahami karakternya. Tidak bisa tidak, yang bisa melakukan secara optimal tentu kaum muda segolongannya. Kepengurusan parpol dalam semua level penting memberdayakan kaum muda.

Keempat, kaderisasi mesti menjadi jantung kehidupan parpol. Parpol idealnya membawa visi ideologi, bukan semacam industri demokrasi belaka. Kehadiran dan denyut kehidupannya mesti ada sepanjang perjalanan demokrasi, tidak hanya ketika jelang pesta demokrasi. Kurikulum dan peta jalan kaderisasi penting dirancang dan dijalankan secara masif dan sistematis. Peraturan organisasi penting ditegakkan dengan tetap mengikuti regulasi negara.

Kelima, sinergi lintas lini guna menyiapkan kualitas generasi sejak dini. Sektor pendidikan diperlukan dalam rangka membentuk karakter dan kecerdasan insan. Sektor publik diperlukan dalam level keluarga dan masyarakat guna memberikan ruang kondusif dan konstruktif bagi pendidikan anak. Pemerintah memiliki tanggung jawab memfasilitasi dengan berbagai programnya.

Regenerasi kepemimpinan yang berkualitas dan melalui mekanisme sistematis merupakan oase di tengah ketidakpercayaan publik yang tinggi terhadap pelaku koruptif demokrasi. Salah satunya diharapkan dapat memutus lingkaran setan korupsi yang menggurita di negeri ini. Pembuktian dapat ditunjukkan Jokowi melalui penunjukan menteri dan harapannya dapat dilanjutkan di posisi politik lainnya oleh parpol.  
 

img
Ribut Lupiyanto
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan