close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi boneka Chucky./Foto Erik Mclean/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi boneka Chucky./Foto Erik Mclean/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Kriminal
Sabtu, 14 September 2024 06:33

Mengapa anak-anak bisa tega membunuh?

Ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak menjadi pembunuh anak-anak lainnya.
swipe

Beberapa hari belakangan, publik dikejutkan dengan pembunuhan dan pemerkosaan seorang anak berinisial AA berusia 13 tahun di Palembang, Sumatera Selatan oleh empat pelaku, yang juga anak-anak—IS berusia 16 tahun, MZ 13 tahun, NS 12 tahun, dan AS 12 tahun. Gadis kecil itu dihabisi nyawanya dengan cara dipukul dan dibekap. Peristiwa miris ini jarang terjadi dalam kasus kriminal.

Di Inggris pada 2023, seorang gadis berusia 15 tahun, bernama Brianna Ghey, juga sempat membuat heboh publik. Dia tewas usai ditikam 28 kali oleh dua anak berusia 15 tahun bernama Eddie Ratcliffe dan Scarlett Jenkinson.

New York Times, 11 Oktober 1983 menulis, pembunuhan mulai menonjol dalam statistik laporan pembunuhan yang dikumpulkan Federal Bureau of Investigation (FBI) pada usia 13 dan 14 tahun. Pada usia usia 15 tahun, angka ini hampir sama tingginya dengan angka untuk semua umur. Ada banyak faktor mengapa anak-anak tega membunuh dari para peneliti, yang dibeberkan New York Times.

Berbagai faktor

Asisten profesor klinis psikiatri di George Washington University, Alan B. Zients, dan profesor hukum di George Washington University, Elyce H. Zenoff menyebut dua kategori remaja di bawah 16 tahun yang melakukan pembunuhan. Laporan itu ditulis dalam International Journal of Law and Psychiatry. Kategori pertama adalah pembunuh non-empatik, yakni anak-anak yang tidak memiliki kemampuan psikologis untuk menempatkan diri mereka di posisi orang lain.

“Setiap pembunuh kategori ini memiliki riwayat perilaku menyerang, masalah membaca yang parah, dan ketidakmampuan mengatasi stres,” kata Zients dan Zenoff, dikutip dari New York Times.

Kategori kedua adalah pembunuh konflik identitas seksual. Menurut Zients dan Zenoff, pelakunya kerap diejek karena dianggap banci dan membawa senjata karena mereka kurang percaya diri secara fisik.

“Mereka berasal dari keluarga di mana ibu berperan dominan dan ayah, jika ada, bersifat pasif. Pembunuhan mereka, meski dilakukan karena nafsu, sering kali secara halus didorong oleh orang tua,” tulis Zients dan Zenoff.

Profesor psikologi di University of Southern California, Sarnoff A. Mednick, dikutip dalam artikel yang sama, menyimpulkan faktor sosial dan keluarga lebih signifikan berpengaruh terhadap anak-anak yang melakukan pembunuhan. Selain itu, ada pula faktor biologis.

“Mednick dan peneliti lain telah menemukan, tindak pidana kekerasan memiliki respons sistem saraf otonom yang lamban, banyaknya anomali fisik kecil, dan prevalensi kelainan elektroensefalogram yang tinggi,” tulis New York Times.

“Mednick mengatakan, banyak orang yang melakukan kekerasan, menderita cacat di daerah otak frontal dan temporal, yang dikaitkan dengan gangguan pengendalian diri.”

Profesor psikiatri di New York University School of Medicine, Dorothy Otnow Lewis dan rekan-rekannya dalam penelitian yang diterbitkan American Journal of Psychiatry percaya, anak-anak yang agresif tumbuh karena ayahnya melakukan kekerasan pula. Sering kali anak yang melakukan pembunuhan menyaksikan kekerasan ayahnya terhadap ibunya. Lewis dan rekan-rekannya pun menemukan, anak-anak yang melakukan pembunuhan lebih besar kemungkinannya memiliki ibu yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa dan ayah pecandu alkohol.

Kabid Humas Polda Sumatera Selatan Kombes Pol Sunarto tengah menggelar konferensi pers terkait kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP berinisial AA yang dilakukan 4 pelaku di bawah umur di halaman Kantor UPTD PSRABH, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/9/2024)./Foto Instagram @polisi_sumsel

Dalam artikelnya di Fair Observer, sosiolog dan kritikus budaya asal Inggris, Ellis Cashmore menulis, anak-anak hidup di dunia kala pertengkaran biasanya diselesaikan dengan beberapa bentuk kekerasan, di dalam atau luar sekolah. Beberapa bahkan menyaksikan pertengkaran diselesaikan di rumah dengan cara yang sama. Mereka juga belajar, pertengkaran yang lebih besar pun diselesaikan dengan kekerasan.

“Anak-anak terinspirasi untuk menggunakan kekerasan oleh segala macam pengaruh yang tak terhindarkan,” tulis Cashmore.

“Mereka, seperti orang dewasa, mengalami godaan untuk menyakiti orang lain dan bahkan mungkin membunuh mereka.”

Bagi sebagian besar anak, rasa benar dan salah mereka belum berkembang. Terkubur di bawah kepekaan lain, atau mungkin, kata Cahsmore, terdistorsi apa yang mereka saksikan di rumah atau lingkungan.

Seiring majunya zaman, inspirasi untuk membunuh didapat dari perkembangan teknologi. Psikolog Jessica Taylor dalam the Independent misalnya menulis, pembunuh Brianna Ghey terobsesi dengan pembunuhan, kekerasan, pertumpahan darah, dan penyiksaan yang diperoleh dari situs web dan forum yang diakses secara daring.

Film juga ternyata berperan. Pembunuhan James Bulger yang baru berusia dua tahun pada 1993 misalnya, menurut Taylor, pelakunya yang terdiri dari dua anak berusia 10 tahun, melakukan hal sadis setelah menonton adegan pembunuhan dari film Child’s Play 3.

“Kenyataannya adalah kita membesarkan generasi penerus dalam masyarakat yang pro-kekerasan, pro-pembunuhan, pro-pemerkosaan, pro-penganiayaan. Media kita penuh dengan hal itu,” tulis Taylor.

Konsekuensi hukum

Pelaku utama pembunuhan dan pemerkosaan bocah perempuan di Palembang, IS, saat ini sudah ditahan di Polrestabes Palembang. Namun, tiga tersangka yang berusia di bawah 14 tahun hanya dititipkan di Panti Sosial Rehabilitasi Anak Berhadapan dengan Hukum (PSRABH) Dharmapala Indralaya, Palembang.

Karena tiga tersangka tidak ditahan, maka protes bermunculan. Di Indonesia, anak-anak yang melakukan tindak pidana mengacu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Protes serupa pernah terjadi di Inggris terhadap kasus pembunuhan James Bulger oleh dua anak laki-laki berusia 10 tahun pada 1993. Menurut mantan konsultan psikiater anak di Royal Hospital for Sick Children, Edinburgh, Sula Wolff dan profesor hukum kedokteran University of Edinburgh, Alexander McCall Smith dalam jurnal BMJ  (2001), menteri dalam negeri saat itu dibujuk oleh tekanan publik dan media untuk meningkatkan hukuman penjara yang sudah dijatuhkan hakim pengadilan, sehingga pelaku akan masuk penjara dewasa pada usia 18 tahun, dengan risiko membatalkan manfaat apa pun yang sudah diperoleh selama penahanan mereka.

Soal pidana bagi anak-anak yang membunuh memang dilematis. Namun, terlepas dari hukumannya, New York Times menulis, banyak ilmuwan perilaku mengatakan, semua remaja yang dituduh melakukan pembunuhan harus menjalani pemeriksaan psikiatris lengkap. Masalahnya, banyak pembunuh remaja tidak diperiksa atau diberikan terapi psikologis.

“Masyarakat kita lebih memilih menyingkirkan orang-orang ini daripada mengobati mereka,” kata profesor psikiatri anak di University of Pittsburgh, Theodore A. Petti kepada New York Times.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan