Seorang pejabat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membahas opsi mediasi sebagai langkah untuk menyelesaikan masalah antikudeta di Sudan pasca-perdana menterinya digulingkan pada Minggu (31/10), sehari setelah ratusan ribu pengunjuk rasa turun ke jalan untuk menuntut diakhirinya kekuasaan militer.
Perbedaan pendapat merupakan tantangan terbesar bagi Jenderal Abdel Fattah al-Burhan sejak ia menggulingkan Kabinet Perdana Menteri, Abdalla Hamdok Senin (25/10) lalu. Sumber-sumber peradilan mengonfirmasi pembebasan Ibrahim Ghandour, kepala mantan partai penguasa yang dibubarkan.
“Saya akan melanjutkan upaya ini dengan pemangku kepentingan Sudan lainnya,” ujar Volker Perthes, perwakilan khusus PBB untuk Sudan, mengatakan dalam sebuah posting Twitter.
Perthes mengatakan, Hamdok saat ini berada di kediamannya dalam keadaan sehat dan sedang menjalani masa tahanan rumah. Upaya mediasi oleh komunitas internasional dan lokal telah diumumkan sebelum aksi protes pada Sabtu (30/10).
Kompromi utama yang dibahas, kata seorang politisi, adalah tuntutan agar Hamdok diberi kekuasaan eksekutif penuh dan menunjuk kabinet teknokrat.
Usulan tersebut, menurut sumber telah diajukan ke semua pihak, akan menyingkirkan Dewan Kedaulatan dengan pembagian kekuasaan 14 anggota, dan mendukung Dewan Kehormatan yang beranggotakan tiga orang.
Partai politik, kelompok pemberontak, militer, dan mitra pemerintahan sebelum kudeta disebut akan diwakili di parlemen. Sementara militer akan terus memimpin Dewan Keamanan dan Pertahanan.
Komite Sentral Dokter Sudan mengatakan, tiga pengunjuk rasa ditembak mati oleh pasukan keamanan di kota kembar Khartoum, Omdurman, Sabtu (30/10), saat terjadi aksi protes antikudeta. Namun, pihak polisi Sudan membantah menembak pengunjuk rasa selama demonstrasi, dan mengklaim justru seorang polisi menderita luka tembak.
Seorang pejabat Kementerian Kesehatan Sudan mengatakan, sedikitnya 15 pengunjuk rasa tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan minggu ini, dan sekitar 245 orang terluka.