close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
Bisnis
Sabtu, 05 Agustus 2023 07:29

Layar Tanjleb: Geliat sinema dari desa

Layar Tanjleb yang menjadi bagian dari program Festival Film Purbalingga sukses memutar 250 film fiksi dan dokumenter sejak 2007.
swipe

“Nanti cari perumahan yang dekat sini saja, biar bisa sering tilik (tengok-red) sampeyan,” ujar Budi kepada sang ibunda. Itulah secuplik dialog dalam film pendek ‘Pedangan’ yang menjadi pemenang kompetisi film fiksi, Festival Film Purbalingga (FFP) 2023.

Ide cerita film pendek karya Hika Production, SMK HKTI 2 Purwareja-Klampok Banjarnegara, Jawa Tengah ini memang mengangkat realita kehidupan sekitar. Di mana hidup pasangan suami istri yang tinggal bersama orang tua kerap ada yang mengganjal. Meski harus berutang demi membeli rumah, pasutri Budi dan Inah pun bertekad untuk hidup mandiri dan berpisah dari ibu yang sudah sebatang kara.

“Ide ini asalnya dari komunikasi dengan tim, lingkungan sekitar, ini sering terjadi di kehidupan nyata, di tetangga, saya jadi terinspirasi dan ambil ide ini,” ungkap sang sutradara, Olivia Nur Andini (16), siswi kelas 11 SMK HKTI 2 Purwareja kepada Alinea.id, Sabtu (29/7).

Uniknya, film berdurasi 13 menit ini hanya mengambil setting di dapur (pedangan) dengan aktivitas memasak atau makan bersama. Film berbahasa Banyumas ini sukses menjadi pemenang dalam gelaran tahunan FFP yang pada tahun 2023 menginjak usia 17 tahun. 

Syuting yang berlangsung selama sehari ini tentu mengalami beragam tantangan mulai dari persiapan set hingga pemilihan karakter pemain. “Ada proses brainstorming dengan teman-teman, CLC (Cinema Lovers Community), guru pembina juga alhamdulillah prosesnya lancar,” tambahnya.

Debut film inipun membuat Olivia kian mantap menekuni dunia sinema dan menjadi pemantik semangat untuk melahirkan karya-karya film selanjutnya. Ia juga tertarik untuk bergabung dalam komunitas film seperti CLC yang tekun menggelar Festival Film Purbalingga tiap tahun.

Film pendek 'Pedangan' berhasil menjadi pemenang dalam Festival Film Purbalingga 2023. Dokumentasi.

Tak hanya genre fiksi, FFP juga memilih film dokumenter ‘Dalan Ruwag’ sebagai pemenang pada tahun ini. Mengangkat realita jalan desa yang rusak akibat penambangan pasir, Sutradara Dalan Ruwag, Vebita Saputri mengaku bangga atas kemenangan pada film pertamanya ini. 

Menempuh pendidikan dalam pondok pesantren tidak menghalangi siswi kelas 11 SMK Darul Abror Bukateja-Purbalingga ini menggarap film dokumenter. Ia dan tim bahkan bisa menembus narasumber ‘A1’ untuk melengkapi objektivitas film yang bermuatan konflik sosial ini.

Bahkan, ia berhasil merekam demonstrasi warga yang menentang pengusaha tambang yang menyebabkan jalan desa rusak. Demonstrasi ini hampir saja ricuh karena warga dan pengusaha tambang nyaris baku hantam.

“Ini dadakan, warga telepon ada demo, saya masih di dalam pondok, yang bisa keluar dan merekam gambar hanya kameramen saja, dibantu CLC,” kisahnya kepada Alinea.id.

Bumbu demonstrasi dalam film dokumenter ini akhirnya berhasil mengantarkan film debutnya sebagai juara. Dewan Juri FFP 2023 juga menilai film ini mampu menyajikan realita di balik kebijakan dan konflik sosial dengan kritis. Vebita pun mengaku ‘ketagihan’ berkecimpung dalam dunia film dan makin mengukuhkan niatnya menjadi sineas.
 
Tak hanya film pilihan juri, FFP juga menobatkan film favorit pilihan penonton yaitu film fiksi ‘Percakapan Hampa’ karya Febu Dwi Setyani dari Kafiana Production SMK YPLP Perwira, Purbalingga dan dokumenter ‘Penjahit Terakhir’, Sutradara Desti Suci Cahyani dari Kafiana Production, SMK YPLP Perwira Purbalingga.

“Senang banget karena ini film pertama, dapat pengalaman dan penghargaan, jadi motivasi buat ke depan,” ungkap Lea (17), pemeran utama film ‘Percakapan Hampa’ kepada Alinea.id.

Seperti peserta lainnya, siswi SMK YPLP Perwira, Purbalingga ini juga baru pertama kali berperan dalam sebuah film. Pelajar jurusan perkantoran ini juga berminat terjun dalam dunia seni peran selepas pendidikan SMK nantinya. Pun demikian dengan Desti Suci Cahyani yang menggarap film dokumenter ‘Penjahit Terakhir’. Film ini mengisahkan penjahit di pasar yang masih bertahan di tengah gempuran teknologi. 

Film dari Kafiana Production, SMK YPLP Perwira Purbalingga ini ingin menyuguhkan pesan bagaimana profesi penjahit ini bertahan di tengah derasnya arus teknologi dan informasi. “Saya sangat tertarik terjun ke dunia film, mau terus berkarya bahkan bergabung ke CLC. Nanti setelah sukses saya mau terus di film," katanya.

Malam penganugerahan Festival Film Purbalingga 2023, Sabtu (29/7). Dokumentasi.

Bukti konsistensi

Geliat sinema di kalangan pelajar memang terus tumbuh di Purbalingga dan Banyumas Raya, Jawa Tengah berkat peran CLC dan komunitas film lainnya. CLC, secara konsisten menggelar FFP setiap tahun sejak 2007. Sedikitnya ada 250 film kompetisi dan non-kompetisi, fiksi dan dokumenter, dari pelajar dan non-pelajar yang sudah diputar dalam program Layar Tanjleb selama 17 tahun terakhir.

Tahun ini, Direktur Program FFP Nur Muhammad Iskandar menjelaskan, film-film pendek fiksi, dokumenter, dan animasi yang masuk mencapai 112 film. ”Total film kompetisi sejumlah 31 film, non-kompetisi 74 film, dan 7 film undangan untuk program anak,” tutur Iskandar.

Pada malam penganugerahan FFP 2023,  Ketua Badan Perfilman Indonesia Gunawan Paggaru mengatakan CLC memiliki perjalanan panjang sebagai komunitas yang konsisten mengenalkan film pada masyarakat grass root. Menurutnya, FFP yang tahun 2023 diputar di 24 titik Banyumas Raya sangat berbeda. 

“Festival film yang begitu banyak, itu seluruh Indonesia belum ada yang sampai 24 titik,” ungkapnya.

Program Layar Tanjleb dengan konsep gerimis bubar (misbar) memang menjadi daya tarik tersendiri yang disuguhkan CLC. Gelaran film dilangsungkan dari desa ke desa se-Banyumas Raya dengan perkiraan jumlah penonton selama 17 tahun mencapai 16 ribu orang. 

“Kembali lagi seluruh Indonesia belum ada yang bisa segitu,” tambahnya.

Ia pun meyakini jika terus berjalan bukan tidak mungkin FFP menandai kebangkitan film nasional dengan film yang kritis dan edukatif. Belum lagi adanya forum dialog yang bisa terselenggara setelah pemutaran film. “Jangan terlalu cepat bangga baru 3-4 tahun selenggarakan satu kegiatan festival film, kalau bisa lewati 5, 10, 15 tahun baru bisa diperhitungkan,” bebernya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Komunitas Film Kedung, Puput Juang Restu Aditia (35). Menurutnya, lahirnya CLC turut menggerakkan kelahiran komunitas film di daerah lain seperti Kedung (Kebumen), Sangkan Paran (Cilacap), dan Art Film (Banjarnegara). Kelahiran komunitas film di Banyumas Raya ini turut melahirkan sineas-sineas muda di daerah.

“Sebelum jadi pembuat film saya senang nonton film dan sering datang ke festival-festival di Jakarta dan Bandung ternyata pas pulang kampung ada FFP, jadi kita ikutin polanya,” ungkapnya kepada Alinea.id, Sabtu (29/7).

Sejauh ini, Kedung Film memang tidak melahirkan festival film namun memiliki spirit yang sama untuk menyajikan pemutaran sinema hingga ke desa-desa. “Animo masyarakat karena ini gratis pasti tinggi, intinya warga kan selalu butuh tontonan, hiburan dan ketika ada yang gratis, tertarik,” ungkapnya.

Dampak ekonomi

Tidak hanya itu, munculnya ‘bioskop’ alternatif ini terbukti memutar roda perekonomian sekitar lokasi Layar Tanjleb. Menurut Puput, saat pemutaran film di desa maka semua pedagang dan UMKM bisa menggelar produknya di lokasi. Seringkali, lokasi Layar Tanjleb pun menjadi magnet dari keramaian dan aktivitas ekonomi.

Belum lagi dampak FFP bagi literasi masyarakat desa dan para pegiat film lainnya. Pasalnya, komunitas film yang kuat juga melahirkan sineas-sineas muda berbakat dari daerah. “Geliat sinema sudah terlihat dan berkembang dan memberikan dampak ke masyarakat, termasuk dari sisi literasi, lebih aware, lebih peduli dengan isu-isu di sekitar mereka,” tutupnya yang sudah berkarier sebagai sineas ini.

 

 

Pemerhati film dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hariyadi menambahkan FFP telah menjadi wadah literasi bagi masyarakat dan terbukti memberi dampak ekonomi bagi masyarakat. “Program Layar Tanjleb jelas membangkitkan ekonomi masyarakat, bagaimana banyak orang yang merasa butuh ketika diselenggarakan acara ini, masyarakat membantu masyarakat,” bebernya.

Dia menambahkan FFP menjadi salah satu festival film yang paling konsisten di tanah air. Gerakan sinema dari desa ini juga awet karena langsung menyentuh masyarakat desa. “FFP dari awal konsepnya sama tiap tahun diselenggarakan dan enggak ada jeda. Festival lain mungkin lebih lama umurnya tapi seringkali ada jeda terutama ketika pandemi ada beberapa festival film yang berhenti,” ungkap dosen FISIP Unsoed ini kepada Alinea.id, Sabtu (29/7).

Apalagi, FFP juga menyasar kategori remaja dan anak-anak sekolah, ini berbeda dengan festival film lainnya. Selama 17 tahun berlangsung, Hariyadi menilai FFP telah banyak melahirkan karya film berkualitas meski pada akhirnya tidak semua pelajar menempuh jalan hidup dari industri film.

“Ini juga bukan tanggung jawab komunitas itu, kolektif ini kan sekadar menumbuhkan minat pada film mengembangkan produksi, mengembangkan kreativitas tapi bahwa kemudian berkarier di bidang film itu bukan jadi wewenang komunitas film,” tambahnya. 

Namun, mantan Anggota Juri Akhir Kategori Kritik Film Festival Film Indonesia 2021 ini juga menyoroti agar kemudahan teknologi dewasa ini mampu menggerakkan semangat berkarya. Terutama di kalangan generasi milenial dan gen Z yang gemar bermedsos.

“Misalnya saat pandemi mereka menemukan media digital, maka terbuka peluang bagi produksi-produksi film untuk dikenal oleh masyarakat,” bebernya.

Sementara  itu, dosen dan pegiat seni dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Syamsul Barry menambahkan apa yang dilakukan CLC tidak hanya bicara mengenai film itu sendiri. Namun, CLC berhasil menghidupi budaya sinema di pedesaan dan menjadi alternatif tontonan masyarakat.

“Kita tahu bioskop cuma ada 400 layar di Indonesia apa yang sudah dilakukan CLC ini bisa dikatakan membangkitkan perfilman nasional berbasis budaya sendiri,” ungkapnya saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (29/7). 

Menurutnya, bicara film tak melulu terkait dengan industri perfilman yang besar dan komersial. Dengan konsep pemutaran di Layar Tanjleb, film hadir dengan pola cerita yang berbeda dan khas. “Itu kansnya ke depan sangat memberikan kontribusi besar bagi industri film,” katanya.

Sebagai seorang akademisi, Syamsul bahkan meraih gelar doktor dari disertasi yang mengangkat soal keberlangsungan FFP. Ia melakukan penelitian tersebut dalam kurun waktu 2016-2021. “CLC sudah menghasilkan doktor 3, S2 saya cari ada 6 tesis, S1 ada 12/13 skripsi,” paparnya.

Menurutnya, FFP juga telah menguntungkan bagi masyarakat sekitar. “Kalau orang Jawa suruh ngembangin wayang kulit di desa-desa itu mudah, tapi film susah tantangannya baru, itu yang paling penting membangun manusia dan untungnya juga membangun ekonomi,” ungkap pria asal Boyolali, Jawa Tengah ini.

Seorang anak menonton film pendek yang diputar dalam Layar Tanjleb Festival Film Purbalingga 2023. Dokumentasi.

Selain dampak ekonomi yang luas, lanjutnya, FFP juga membangun masyarakat melalui literasi dari film. Terlebih, budaya Banyumas cenderung memiliki kesetaraan dibanding budaya Jawa lain seperti Yogyakarta dan Solo. “Tempat ini punya budaya berani dari filosofi ngapak. Kenapa disini lebih mudah karena terdukung nilai-nilai budaya yang setara,” ungkapnya.

Ikon Purbalingga 

Meski berperan signifikan dalam menggeliatkan sinema di pedesaan, kata Syamsul, CLC kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Menurutnya, Purbalingga selama ini hanya dikenal sebagai produsen knalpot, bulu mata, dan rambut palsu.

Padahal, Festival Film Purbalingga itu sendiri bisa menjadi ikon kebanggaan daerah yang dikenal dengan nama kota Perwira ini. Menurutnya, nama FFP dari CLC sudah cukup mendunia. Tercatat beberapa jurnal internasional sudah meneliti soal pemutaran film di desa-desa ini. “FFP ini kan bisa jadi ikon,” sebutnya.

Sayangnya, di lingkup pemerintahan daerah, CLC kerap memiliki hubungan yang kurang harmonis. Pendiri CLC dan penggagas FLP Bowo Leksono mengakui hubungan CLC dengan pemda Purbalingga kerap pasang surut. Seperti halnya tahun ini di mana pemda Purbalingga ‘absen’ menyokong keberlangsungan finansial FFP.

Pasalnya, mulai tahun 2022 FFP menerima pendanaan dari pemerintah pusat yakni Kementerian Pendidikan, Kebudayan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). FFP masuk radar pemerintah sebagai gelaran strategis bersama dengan 13 festival lainnya di Indonesia. 

“Kami enggak mengajukan tapi mereka (Kemendikbudristek) yang pilih, dan CLC satu-satunya yang dari level kabupaten,” tambah bapak dua anak ini kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

CLC mengusung Festival Film Purbalingga sebagai program yang akan mendapat pendanaan multiyears tersebut. Anggaran yang didapat sebesar Rp2,5 miliar selama setahun mulai 2022 hingga 2024 mendatang. “Kerja-kerja untuk festival dilakukan sepanjang tahun kan abis ini pasti ada workshop. Teman-teman Banyumas punya cita-cita besar bikin sekolah film, semoga bisa terwujud dari hasil bantuan pemerintah pusat, sembari kita nabung karena kalau enggak gitu, 3 tahun selesai ya miskin lagi, jadi harus prepare,” bebernya.

Mantan jurnalis ini menambahkan FFP dinilai seksi karena jangkauannya kepada masyarakat pedesaan. Dia pun mengisahkan perjalanan FFP yang panjang dan tak mudah. Termasuk pasang surutnya hubungan dengan Pemda Purbalingga. Pada awal kelahirannya di tahun 2007, FFP tidak diakui atau ditolak. Seiring waktu pemda pun terkadang memberikan dukungan baik dari sisi finansial maupun lainnya.

“Tahun ini kami enggak diurus pemda, kalau ada festival yang munculnya bukan dari pemda mereka setengah-setengah mau bantu. Padahal pemerintah pusat bilang nanti setelah multiyears selesai, pemerintah pusat mau bantu sepanjang pemda mau bantu dan hitung-hitungannya 50:50,” ungkapnya.

Padahal dukungan anggaran sangat berperan untuk mewujudkan gelaran festival tiap tahunnya. Bowo pun mengakui kerap mencari dana secara mandiri demi mewujudkan program kerja tahunan CLC. Untuk itu, CLC pun membuka peluang kerja sama sponsorship dengan pihak lain.

Selain itu, Bowo mengatakan perkembangan sinema di Banyumas kini lebih aman dengan wadah berupa FFP. Di sisi lain perkembangan teknologi mempermudah teknis pembuatan film. Meskipun ia mengakui saat ini untuk memproduksi film pendek membutuhkan biaya tak sedikit.

Hal ini tak lepas dari harapan bahwa pemutaran film melalui Layar Tanjleb akan merangsang gairah memproduksi sinema berkualitas. “Kita percaya lahirnya produksi film karena menonton film, jadi komunitas penonton film yang harus diperkuat,” ungkapnya.

Sayangnya, di tengah derasnya pengaruh media sosial anak-anak muda atau pelajar semakin sulit mendapat literasi positif. "Mereka malas baca, padahal itu kebutuhan utama untuk memproduksi film,” tutupnya.
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

img
Kartika Runiasari
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan