close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kopi susu kekinian. Foto Unsplash.
icon caption
Ilustrasi kopi susu kekinian. Foto Unsplash.
Bisnis
Sabtu, 14 September 2024 19:43

Jebakan Latte Factor dan dampaknya terhadap negara

Latte Factor menjadi istilah untuk menggambarkan situasi dewasa ini. Generasi sekarang menghabiskan uang untuk konsumsi kopi kekinian dan pengeluaran yang dianggap receh.
swipe

Latte Factor menjadi istilah untuk menggambarkan situasi dewasa ini. Generasi sekarang menghabiskan uang untuk konsumsi kopi kekinian, makanan cepat saji siap antar, dan jajanan lainnya.

Pengeluaran yang tanpa sadar dilakukan ini sering dianggap tidak berarti karena nominalnya kecil. Namun, karena dilakukan secara terus-menerus, dalam sebulan seseorang telah mengeluarkan uang yang cukup besar. Bak bocor halus pada kendaraan yang kerap tak terasa, tahu-tahu kempis tidak bisa dipakai untuk jalan. Sama halnya dengan pengeluaran yang tidak disadari, tiba-tiba saldo rekening menipis dan tidak dapat membeli kebutuhan yang lebih penting seperti rumah.

Dampak terhadap negara

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi mengatakan, kondisi tersebut karena kurangnya literasi keuangan yang kuat dan kecenderungan menjadi big spender alias pemborosan besar. Banyak generasi muda tidak paham tentang manajemen keuangan, seperti pentingnya menabung dan berinvestasi untuk jangka panjang. 

Sebaliknya, mereka lebih fokus pada kesenangan jangka pendek, seperti membeli kopi mahal setiap hari, yang menghambat kemampuan untuk menabung secara signifikan. Kurangnya edukasi keuangan formal di sekolah juga membuat anak muda tidak terbiasa membuat rencana keuangan yang matang. 

Kemudian, di sisi lain, budaya konsumtif yang dipromosikan melalui media sosial serta tekanan dari lingkungan pertemanan semakin mendorong muda-mudi untuk menghabiskan uang pada hal-hal yang tidak terlalu diperlukan. Kebiasaan ini sering kali dianggap sepele, namun pengeluaran harian seperti membeli kopi dapat bertambah dan menghalangi kemampuan untuk menabung bagi kebutuhan besar, seperti uang muka rumah.

“Dampak dari fenomena ini bagi negara bisa beragam. Di satu sisi, konsumsi yang tinggi dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan aktivitas bisnis, karena pengeluaran konsumen mendukung berbagai sektor ekonomi,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (11/9). 

Ia mengingatkan, jika pengeluaran ini dilakukan secara tidak terencana dan mengabaikan tabungan serta investasi, bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Seperti meningkatnya ketidakstabilan finansial individu dan menurunnya tingkat tabungan nasional. Selain itu, jika mayoritas generasi muda kesulitan membeli rumah atau berinvestasi, bisa memengaruhi pasar properti dan ekonomi makro secara keseluruhan.

“Kalau sekarang untuk kelas menengah, perlu pengalokasian secara bijak untuk pengeluaran hiburan, makanan atau minuman dan tabungan hari tua serta perumahan,” ujarnya.

Peneliti di Center of Reform on Economics (Core), Eliza Mardian menilai, tingginya permintaan minuman kopi terjadi seiring berkembangnya sejumlah kafe kekinian yang instagramable dan nyaman. Alhasil, tempat ngopi bukan cuma untuk nongkrong tapi juga bisa bekerja bahkan sebagai tempat belajar atau mengerjakan tugas.

Belum lagi, kecepatan informasi dalam teknologi sekarang ini juga memengaruhi pergeseran gaya hidup anak muda. Perubahan gaya hidup ini yang menyebabkan konsumsi kopi terus naik. Menurutnya, kondisi ini meningkatkan permintaan agregat dan para pengusaha memanfaatkan peluang tersebut dengan ekspansi dan berinovasi sehingga terjadi penciptaan lapangan kerja baru.

Faktor lain

Menurut Eliza, ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab generasi sekarang sulit memiliki rumah. Salah satunya, gaji pekerja kerap tergerus inflasi dan banyak yang bekerja dibayar dengan upah rendah. 

“Sebetulnya keliru dengan statement ‘karena sering beli kopi, milenial dan gen z sulit punya rumah’. Penghematan yang dilakukan oleh masyarakat untuk kopi tidak sebanding dengan harga propertinya,” ujarnya kepada Alinea.id, Kamis (12/9).

Kemudian, penciptaan lapangan kerja formal cukup sulit di Indonesia. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Eliza bilang, pada 2023 tingkat pengangguran terbuka (TPT) usia 16 tahun hingga 30 tahun mencapai 13,41% atau di atas TPT nasional yang sebesar 5,3%. 

Secara rinci, persoalan tenaga kerja muda Indonesia adalah sebanyak 56,4 % pemuda diserap sektor jasa. Sekitar 44,4% di sektor informal; sebesar 52% pemuda bekerja tidak tetap; sebesar 30% bekerja kurang dari 35 jam per minggu; dan 49,8 % pemuda bekerja dengan upah kurang dari 2/3 median upah.

Maka dari itu, ia menyarankan, anak muda seharusnya berupaya untuk mendapatkan hak mereka yakni gaji dan pekerjaan yang layak. Dalam hal ini pemerintah mestinya dapat menyediakan pekerjaan di dalam negeri yang menjanjikan kesejahteraan.

Jika pun tidak bisa di dalam negeri, maka harus melatih dan memberikan sertifikasi para pencari kerja untuk bekerja di luar negeri. Pasalnya, menurut Eliza, di dalam negeri tidak mampu menciptakan lapangan kerja. 

“Di beberapa negara yang aging population itu sangat membutuhkan pasokan tenaga kerja terampil seperti bidang kesehatan, perawatan, guru dan lainnya,” ucapnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan